Jumat, 07 Juni 2013

Mikotoksikosis dan Imunosupresi

article-imageKeterlibatan mikotoksin dalam kasus metabolik industri perunggasan dunia ibarat suatu “siluman”, tidak kasat mata namun jelas dalam efek yang ditimbulkannya. Kalaupun level dalam pakan dapat dideteksi dengan uji laboratoris, namun hasil uji laboratoris tersebut seringkali menimbulkan perdebatan yang tidak pernah tuntas. Tulisan ini mencoba memaparkan kajian lapangan kasus mikotoksikosis pada ayam modern dari kacamata seorang praktisi lapangan.
Sekilas tentang mikotoksin
Mikotoksin merupakan metabolit sekunder dari beberapa jenis kapang yang tumbuh pada biji-bijian yang kaya akan bahan nutrisi (terutama karbohidrat) dalam kondisi lingkungan yang ideal atau optimal. Sampai saat ini telah diidentifikasi lebih dari 400.000 jenis mikotoksin yang dapat mengancam kehidupan manusia maupun hewan ternak, termasuk unggas.
Karakteristik fisik mikotoksin seperti tidak kasat mata (invisible), tidak berwarna (colourless), tidak berbau (odorless), serta tidak mempunyai rasa (tasteless) merupakan kesulitan tersendiri untuk mendeteksi keberadaan mikotoksin dalam pakan ternak. Dari sudut karakteristik kimiawi, mikotoksin merupakan senyawa kimia yang sangat stabil, sangat tahan pada suhu yang tinggi (>1000C), sangat tahan pada kondisi-kondisi penyimpanan serta sangat tahan pada berbagai kondisi proses-proses dalam pembuatan pakan ternak itu sendiri.
Ada beberapa kapang penting yang dapat menghasilkan mikotoksin dan berbahaya bagi ayam modern, yaitu:
1)      Field fungi, misalnya Fusarium roseum, Fusarium graminearum, dan Fusarium culmorum. Kapang Fusarium spp umumnya menghasilkan metabolit toksin-T2 (T2-toxin).
2)      Storage fungi, misalnya Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus, Penicillium viridicatum. Kapang-kapang dari kelompok ini umumnya dapat menghasilkan metabolit dalam bentuk aflatoksin (khususnya Aflatoksin-B1) dan okratoksin (khususnya Okratoksin-A).
Gejala klinis problem mikotoksikosis pada ayam modern biasanya tidak terlalu spesifik, umumnya dalam bentuk gangguan performa atau menurunnya produktifitas ayam yang ada.  Di lapangan, kasus mikotoksikosis dapat terjadi secara akut, sub-kronis ataupun kronis; tergantung pada level dan jumlah jenis mikotoksin dalam pakan, lamanya ayam terpapar pada pakan yang mengandung mikotoksin serta keberadaan faktor lain seperti cekaman stres yang dapat bertindak sebagai faktor interaktan.
Mirip seperti pada gejala klinis, manifestasi bedah bangkai problem mikotoksikosis di lapangan dapat mengindikasikan kejadian sistemik, lokal atau bahkan spesifik pada organ tubuh tertentu (organ spesific); tergantung level dan jumlah jenis mikotoksin dalam pakan, lamanya ayam terpapar pada pakan yang mengandung mikotoksin serta keberadaan faktor lain seperti cekaman stres yang dapat bertindak sebagai faktor interaktan.
Hamilton (1984) adalah toksikolog pertama yang mengatakan bahwa tidak ada batas aman cemaran mikotoksin bagi manusia maupun hewan ternak.  Hal ini terjadi akibat adanya fenomena efek KUMULATIF dari sebagian besar mikotoksin yang menyerang manusia dan hewan ternak.  Pada kenyataan lapangan, situasi seperti inilah yang sebenarnya sering terjadi.  Dari analisa laboratoris pakan ayam, seringkali ditemukan level mikotoksin yang relatif jauh di bawah batas ambang (misalnya Aflatoksin-B1 <20 ppb), namun realita ayam di lapangan sudah menunjukkan baik gejala klinis maupun gambaran bedah bangkai yang mengarah pada kasus mikotoksikosis. Tony Unandar (Anggota Dewan Pakar ASOHI-Jakarta).

Ampas Sagu yang Terbuang Masih Bermanfaat

article-imagePohon sagu merupakan nama umum untuk tumbuhan genus Metroxylon, berasal dari kata Yunani yang terdiri dari kata Metra berarti isi batang atau empulur dan Xylon berarti xylem (Flach 1977). Sagu termasuk tumbuhan monokotil dari famili Palmae, genus Metroxylon dan Ordo Arecales, berkembangbiak melalui tunas, akar atau biji sehingga tumbuh membentuk rumpun dan berkelompok (Louhenapessy et al. 2010).
Pada umumnya dikenal lima jenis sagu di Maluku, yakni : sagu Tuni (Metroxylon rumphii Mart), sagu Ihur (Metroxylon sylvester Mart), sagu Makanaru (Metroxylon longispinum Mart), sagu Duri Rotan (Metroxylon microcanthum Mart) merupakan sagu berduri dan satu jenis sagu yang tidak berduri yakni sagu Molat (Metroxylon sagu Rottb) (Louhenapessy 2006).
Taksiran luas lahan sagu di Indonesia sangat bervariasi dari waktu ke waktu. Luas lahan sagu di Indonesia adalah 1.398.000 ha, sedangkan di Maluku (provinsi Maluku dan Maluku Utara) luas lahan sagu adalah 50.000 ha (Balitbanghut 2005).
Menurut Alfons (2006), luas areal sagu potensial di Maluku diperkirakan sebesar 31.360 ha. Jumlah pohon masak tebang untuk kondisi hutan sagu di Indonesia adalah antara 8–36 pohon/ha dimana untuk kondisi hutan sagu di Maluku rata-rata pohon sagu masak tebang berbagai jenis sagu adalah 20 pohon/ha dan rataan produksi tiap pohon adalah 220 kg, sehingga dalam luasan satu ha dapat diproduksi 4400 kg tepung sagu (Louhenapessy 1988). Dari jumlah produksi tepung sagu diperoleh limbah padat berupa ampas sagu dalam jumlah yang besar dengan perbandingan tepung sagu dan ampas sagu 1 : 6. Hal ini berarti potensi ampas sagu tersedia cukup besar yaitu 1.320 kg per pohon yang terdiri dari campuran ampas dan sisa pati yang tidak terekstraksi (Rumalatu 1981). Pada dasarnya proses ekstraksi pati adalah pemisahan pati dari empulur batang sagu dengan bantuan air. Proses penghancuran empulur ini di Maluku dapat dilakukan dengan dua cara, yakni penghancuran empulur dengan menokok (menggunakan nani) dan dengan cara mekanik (penghancuran empulur dengan menggunakan mesin).
Ampas sagu sebagai pakan  
Nutrien yang terkandung dalam ampas sagu umumnya sangat rendah karena rendahnya protein kasar dan tingginya serat kasar.  Walaupun kandungan nutrien terutama protein kasar rendah berkisar antara 2,30-3,36%, pati dalam ampas sagu masih cukup tinggi yaitu 52,98% (Ralahalu, 2012). Hal ini memungkinkan ampas masih bermanfaat  sebagai pakan ternak. Pemanfaatan ampas sagu sebagai pakan ternak dari beberapa hasil penelitian dalam ransum monogastrik (ayam dan babi) dapat mengurangi penggunaan bahan makanan lain seperti jagung dan dedak padi disebabkan cukup tingginya kadar pati dalam ampas sagu (Tabel 1). Selain itu untuk meningkatkan kualitas ampas sagu dilakukan biofermentasi ampas sagu menggunakan kapang Aspergillus niger.
Tabel 1. Penggunaan Ampas sagu Mengurangi Penggunaan Jagung dan Dedak padi
Pada Babi Fase GrowerAmpas Sagu Tanpa Fermentasi
R07,5%15%22,5%
Jagung (kg)65,7553,5052,0040,50
Dedak padi (kg)7,007,751,000,50
Pada Ayam kampungFase StarterAmpas sagu Fermentasi (ASF)
R05%10%15%
Dedak padi (kg)18,2515,7513,7510,50
Ayam Kampung fase Grower17,516,0014,0012,00
Dedak padi (kg)
Sumber: Ralahalu (1998)
Kondisi seperti ini sangat menguntungkan peternak yang berada didaerah surplus ampas sagu. Selain itu tingginya harga jagung dan dedak padi yang menyebabkan bahan-bahan makanan ini tidak dapat diberikan kepada ternak secara kontinyu. Tabita Naomi Ralahulu, Dosen Jurusan Peternakan, Faperta, Univ. Pattimura, Ambon.

Efek Penggunaan Mengkudu terhadap Performa Ayam

article-imageMengkudu merupakan tanaman serba guna, banyak jenis produk yang bisa dikembangkan dari akar, batang, daun, maupun buahnya.
Spesies mengkudu yang sudah umum dimanfaatkan di Indonesia adalah Morinda citrifolia., yang dikenal sebagai mengkudu Bogor dan spesies ini banyak dimanfaatkan untuk obat. Spesies yang lain adalah Morinda bracteata. Spesies ini berasal dari Pulau Butung, dan banyak dibudidayakan di Maluku sebagai penghasil zat warna untuk bahan pencelup benang, kain, kain batik, dan kerajinan anyaman dari daun pandan. Morinda bracteata ada dua varietas, yaitu mengkudu tanah merah, yang menghasilkan zat warna merah, dan mengkudu tanah putih yang menghasilkan zat warna kuning (Djauhariya, 2003).
Menurut Bangun dan Sarwono (2002) selain sebagai sumber nutrisi mengkudu juga mempunyai efek neutraceutical. Kandungan nutrisi yang terkandung dalam buah mengkudu adalah protein, mineral (Se), vitamin C sebagai antioksidan dan asam lemak rantai pendek yang menyebabkan bau yang menyengat (Amar dkk., 2004).
Mengkudu juga mengandung beberapa asam amino esensial, misalnya : triptofan, histidin, valin, leusin, arginin, fenilalanin, treonin, isoleusin, dan metionin (Solomon, 2001).  Selain itu pada sari buah mengkudu terkandung asam lemak yang meliputi: asam kaproat, kaprilat, asam palmitat, asam stearat dan asam oleat (Ngakan dkk., 2000).
Senyawa-senyawa aktif yang terkandung dalam mengkudu yaitu terpenoid, anti mikrobia (anthraquinone), anti kanker (damnacanthal), alkaloid, pewarna alami, asam, enzim, mineral dan vitamin (Bangun dan Sarwono, 2002).  Senyawa anti kanker (damnacanthal) yang terdapat dalam buah mengkudu, dapat menghambat pertumbuhan NKC (Natural Killer Cells), yang merupakan sel pemicu terjadinya kanker.  Sedangkan senyawa anti mikrobia (anthraquinone) mampu mencegah pertumbuhan mikrobia pathogen, terutama bakteri dan jamur (Thomas, 2000).

Strategi Tingkatkan Kualitas Pelet

Ada berbagai strategi, mulai dari mengatur formulasi pakan dan mesin pelleting, menggunakan pellet binder, dan mengatur minyak
Pada broiler (ayam pedaging), kualitas pelet atau pakan sangat berpengaruh terhadap performa produksi. Pakar nutrisi ternak dari Balai Penelitian Ternak, Ciawi – Bogor Budi Tangendjaja menyodorkan data penelitian yang mengkomparasi performa broiler pada berbagai bentuk pakan (100 % tepung, 20 % tepung, 40 % tepung, 60 % tepung, dan 0 % tepung).
Hasilnya, semakin sedikit komposisi tepung pada pakan, maka pertumbuhan dan konversi pakan broiler akan semakin baik. Ini mengindikasikan bahwa pada broiler, pakan bentuk pelet lebih baik dari bentuk tepung dan kualitas pelet menentukan performa.
Karena itu, kata Budi, kualitas pakan pelet untuk broiler harus dibuat sebaik mungkin. Tingkat kualitas pelet dinyatakan dalam PDI (Pellet Durability Index). ”Ada yang berpendapat PDI 93 % sudah bagus, namun ada pula yang bilang itu belum cukup. Tapi intinya jangan sampai terlalu tinggi karena peletnya akan keras sekali dan sulit dicerna,” pesannya.
Pellet Binder
Budi mengatakan, cara-cara dasar yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pelet adalah melalui formulasi pakan. Serta pengaturan mesin pelleting seperti mengatur roller (bagian pemutar), die (bagian dari mesin pelleting yang permukaannya berupa lubang-lubang tempat keluarnya pelet), steam (pengatur uap), dan suhu. Namun bila peningkatan kualitas pelet melalui formulasi pakan dan pengaturan mesin pelleting tidak mendapatkan hasil yang maksimal, penggunaan pellet binder (produk yang ditambahkan ke dalam bahan-bahan pakan untuk meningkatkan kualitas pelet) layak dipertimbangkan.
Sejatinya, kata Budi, pellet binder bukanlah hal baru. Dan kenangnya, di Indonesia produk ini sudah ada sejak 1990-an. Jenis produknya bermacam-macam. Ada yang terbuat dari lignin dan selulosa yang bersumber dari kayu dan clay (sejenis tanah liat). Jumlah penggunaannya pun bermacam-macam. Ada yang mengklaim hanya 2 kg, 5 kg, dan sebagainya.
Karena produk pellet binder bermacam-macam, kata Budi, efikasi dan efisiensi merupakan kriteria yang tepat untuk memilih produk tersebut. Hal pertama yang harus dibuktikan adalah apakah pellet binder itu dapat bekerja dan efektif dalam meningkatkan kualitas pelet. Lalu perhatikan berapa penggunaannya per ton pakan, karena ini akan mempengaruhi faktor ekonomis.
Perusahaan asal Norwegia, Borregaard merupakan salah satu produsen pellet binder. Dikatakan Technical Sales Manager Asia Pacific Borregaard, Sotero Lasap, produk pellet binder perusahaannya telah hadir di Indonesia sejak 1990-an.
Perihal kriteria dalam memilih pellet binder yang berkualitas, Sotero menyebutkan 4 kriteria. Pertama, dapat meningkatkan kualitas pelet. Sotero menerangkan, durabilitas pakan pelet yang diangkut dari pabrik pakan ke kandang adalah sangat penting. Dan nilai PDI yang baik adalah yang diukur menggunakan Holmen Tester, sebab lebih destruktif ketimbang metode atau alat ukur lainnya. Pellet binder yang baik adalah dapat meningkatkan nilai PDI yang diuji dengan Holmen Tester.
Ke dua, yaitu dapat meningkatkan tingkat produksi. Pellet binder yang baik adalah dapat mengikat sekaligus melubrikasi bahan-bahan baku pakan sehingga dengan mudah melewati die. Kemampuan lubrikasi inilah yang dapat meningkatkan tingkat produksi pakan pelet.
Ke tiga dan ke empat adalah dapat menurunkan beban penggunaan listrik (kwh) per ton pakan dan efektif dalam hal biaya. Kata Sotero, dengan kemampuan lubrikasi tadi sehingga meningkatkan tingkat produksi, itu artinya juga mengurangi biaya listrik dan efektif.

Agar Kiriman DOC Tetap Segar

Normal angka kematian DOC sesampai di kandangtidak lebih dari 2 % jumlah yang dikirim. Bila lebih, pasti ada yang salah. Apakah kualitas DOC di bawah standaratau proses pengiriman yang bermasalah
Sebaik apapun kualitas DOC (Day Old Chicks) atau ayam umur sehari yang dihasilkan, tidak ada artinya jika sampai kandang kondisinya stres, tidak mau makan dan minum, bahkan mati. Dalam hal ini, teknik penanganan selama proses pengiriman menjadi titik kritis yang sangat penting. Demikian diungkapkan Deputy Poultry Director PT Sierad Produce, Boedi Poerwanto kepada TROBOS Livestock.
Menurut Boedi, selama 5 tahun terakhir, dalam hal transportasi DOC, pihak hatchery (penetasan) sudah banyak kemajuan. Mulai dari perbaikan proses breeding, menekan angka kematian, perbaikan metode transportasi, perlakukan selama transportasi, kedisiplinan sumber daya manusia, dan faktor penentu lainnya.
Ini diakui Said Sigit Prabowo peternak broiler (ayam pedaging) asal Bogor, sebagai pengguna DOC. Menurut Sigit, semakin banyaknya hatchery yang berdiri di sekitar sentra peternakan broiler merupakan salah satu strategi untuk menekan penurunan kualitas DOC selama proses transportasi. “Di Jawa saja, sekarang di tiap provinsi sudah ada hatchery,” kata Sigit. Dengan demikian, waktu tempuh DOC sampai kandang bisa lebih cepat, kondisi DOC lebih segar, pertumbuhan DOC lebih baik, dan angka kematian pun bisa ditekan.
Angka Kematian
Dikatakan Boedi, normalnya angka kematian DOC selama pengiriman tidak lebih dari 2 % total jumlah DOC yang dikirim. Itu sebabnya, tiap hatchery umumnya melebihkan 2 ekor DOC dalam setiap boks pengirimin (kapasitas 100 ekor). “Kalau ada kematian lebih dari itu berarti ada yang salah antara kualitas DOC yang kurang bagus atau proses pengirimannya bermasalah,” ujar Boedi.  
Pada kondisi transportasi DOC yang ekstrim, kata Boedi, DOC sampai kandang bisa mati sekaligus. Pola kematian secara serentak ini berbeda dengan pola kematian DOC karena faktor kualitas produksi hatchery. “Biasanya kualitas DOC yang kurang baik dari hatchery pola kematiannya sedikit demi sedikit dalam beberapa hari pemeliharaan,” ungkap Boedi.
Lama Pengiriman
Jarak tempuh dan kondisi lalu lintas harus diperhitungkan dalam pengiriman DOC. menurut Boedi, idealnya pengiriman DOC tidak lebih dari 12 jam, lebih cepat lebih baik. Sementara Sigit berpatokan, kalau memungkinkan transportasi DOC paling lama 3 sampai 4 jam. Strategi ini diterapkan pada usaha pembibitan (breeding) yang dikembangkan Sigit bersama koleganya di Pulau Bangka.
Waktu pengiriman juga sudah menjadi perhatian dalam proses pengiriman. Menurut Teddy, umumnya hatchery mulai melakukan persiapan pengiriman pada sore hari, kemudian berangkat mengirim pada malam hari. “Ini untuk  menghindari kondisi cuaca panas yang tidak menentu pada siang hari sepanjang perjalanan,” kata Teddy.
Kasus yang paling umum terjadi terkait transportasi DOC adalah DOC mengalami dehidrasi (kekurangan cairan) sesampainya di kandang. Boedi menjelaskan, kondisi ini bisa terjadi karena DOC terlalu lama dalam perjalanan mungkin karena kemacetan, truk mogok, atau faktor penghambat lainnya. “Kondisi DOC kekurangan cairan dapat dilihat dari ruas-ruas kakinya yang kering dan pembuluh darah di kaki terlihat merah,” kata Boedi.
 Dalam kondisi tersebut, lanjutnya, jika DOC masih mau minum itu pertanda bagus dan biasanya diberi perlakukan vitamin atau cairan elektrolit sudah cukup mengembalikan stamina. Celakanya jika DOC sudah tidak mau minum maupun makan, besar kemungkinannya DOC bakal mati. “Jika melihat ada kelompok DOC yang seperti ini segera dipisahkan dan diperlakukan tersendiri. Misalnya diberi minum secara paksa. Untuk makan tidak masalah, DOC mampu tidak makan selama 3 hari karena masih ada asupan nutrisi dari kuning telur (yolk),” kata Boedi.
Sepanjang perjalanan, faktor utama yang jadi perhatian untuk menjaga kondisi DOC adalah suhu dan kelembaban. Menurut Boedi,  suhu dalam ruangan truk angkutan DOC idealnya disetel tidak lebih dari 300 celcius. “Ini merupakan suhu yang nyaman bagi DOC,” kata Boedi.
Tidak kalah pentingnya kelembaban. Menurut Boedi, kelembaban dalam ruang pengangkut juga perlu jadi perhatian, terlebih Indonesia merupakan negara tropis dengan curah hujan yang relatif tinggi. Kondisi lingkungan ini, kata Boedi, kerap menimbulkan kondisi lembab yang tinggi. “Jika ini sampai terjadi selama pengangkutan maka akan mengganggu pernafasan dan pertumbuhan ayam,” kata Boedi. Ia menambahkan, kelembaban ideal selama pengangkutan sekitar 70 %.
Sirkulasi Udara
Guna menjaga suhu dan kelembaban tetap stabil, kata Boedi, keberadaan kipas untuk sirkulasi udara ruang pengangkut DOC penting untuk diperhatikan. Jika truk pengangkut DOC sudah menggunakan AC (Air Conditioner), akan lebih mudah mengontrol suhu. “Teknologi ini sudah digunakan dalam penganggukan parent stock atau indukan,” ujar Boedi. 
Boedi mengingatkan, selama perjalanan mengangkut DOC, kipas tidak boleh mati. Ia menyarankan, dinamo penggerak kipas harus terpisah dari dinamo mesin truk, supaya perputaran kipas tidak terpengaruh saat truk sedang berhenti. Ada baiknya pada dinamo kipas tersebut dipasang sistem otomatis, sehingga pada saat truk jalan, sumber energi bisa otomatis dialihkan ke dinamo mesin supaya hemat baterai.
Teknologi Baru
Sentuhan teknologi terkini untuk pengangkutan DOC juga mulai dilirik para perusahaan hatchery. Seperti penggunaan boks DOC yang sampai saat ini masih menggunakan kardus, kini mulai tersedia boks yang terbuat dari plastik. Menurut Boedi, meski perlu biaya yang lebih tinggi namun penggunaan boks plakstik jelas lebih tahan lama, ketimbang boks kardus yang hanya sekali pakai.
Namun, Boedi menganjurkan penggunaan boks plastik untuk pengiriman jarak dekat saja. “Karena sifat bahan plastik yang lebih panas, jika terlalu lama akan berpengaruh pada kondisi DOC,” kata Boedi beralasan. 
Alasan lain kian banyak hatchery yang menggunakan boks DOC dari plastik diungkapkan Teddy. Menurut Teddy, penggunaan boks kardus membuat sirkulasi udara dalam ruang pengangkutan tidak lancar, karena lubang-lubang yang tersedia di kardus sedikit. “Hambatan sirkulasi udara tersebut dapat dikurangi dengan menggunakan boks plastik yang lebih banyak lubangnya,” kata Teddy.