Jumat, 05 September 2014

Artikel Penelitian Semen Cair

Yulianto Nugroho1), Trinil Susilawati2), dan Sri Wahjuningsih2)

1)      Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
2)      Dosen Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
Jl. Veteran Malang 65145 Indonesia
______________________________________________________________________

 

ABSTRAK: Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan konsentrasi kuning telur dan sari buah jambu biji pada pengencer CEP-2 terhadap kualitas semen sapi Limousin selama penyimpanan pada suhu 3-50C. Metode penelitian dibagi menjadi 4 perlakuan: P0 = CEP-2 + KT 20%, P1 = CEP-2 + KT 15% + SBJB 5%, P2 = CEP-2 + KT 10% + SBJB 10%, P3 = CEP-2 + KT 5% + SBJB 15%. Data dianalisis dengan menggunakan Analisis Ragam Rancangan Acak Kelompok (Randomized Block Design) yang dikelompokkan berdasarkan waktu penampungan semen. Selanjutnya apabila di antara perlakuan menunjukkan perbedaan pengaruh yang nyata atau sangat nyata, akan dilakukan dengan Uji Jarak Berganda Duncan. Pengencer dari sari buah jambu biji dan kuning telur, selanjutnya diuji menggunakan Pearson’s Chi Square dengan nilai harapan 40%. Total spermatozoa motil diuji menggunakan Pearson’s Chi Square dengan nilai harapan 40 juta spermatozoa motil per mililiter. Hasil penelitian untuk rataan dan SD motilitas pada semen cair sapi limousin selama pendinginan hingga 24 jam yang terbaik pada P0 (41,5 ± 2,11%) dan berbeda sangat nyata (P<0,01), kemudian diurutkan mulai dari yang tertinggi hingga terendah oleh P2 (36,5 ± 4,89%), P1 (33 ± 5,63%), dan P3 (30 ± 4,41%). Analisis dengan menggunakan Pearson’s Chi Square menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata pada persentase motilitas P0 dan P2 setelah pendinginan selama 24 Jam. Viabilitas terbaik hingga jam ke 24 pada P0 (70,43 ± 1,95%) dan berbeda sangat nyata (P<0,01) kemudian disusul oleh P2 (60,29 ± 4,36%), P1 (55,06 ± 5,09%), dan terendah pada P3 (49,25 ± 3,57%). Abnormalitas terbaik hingga jam ke 24 juga pada P0 (15,45 ± 1,80%) dan berbeda sangat nyata (P<0,01) kemudian diurutkan mulai dari yang terendah hingga tertinggi oleh P1 (16,33 ± 1,56%), P2 (16,49 ± 1,30%), dan tertinggi pada P3 (18,41 ± 1,66%). Total spermatozoa motil menunjukkan bahwa perlakuan P0, P1, P2, dan P3 berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dengan standar SNI yaitu 40 juta spermatozoa motil per mililiter. Pengencer yang kualitasnya terbaik terdapat pada perlakuan P0, kemudian disusul oleh perlakuan P2, P1, dan P3 dengan penambahan konsentrasi kuning telur dan sari buah jambu biji setelah penyimpanan 24 jam.                          

ABSTRACT: This research was to determine the effect of the addition at various levels of egg yolk and guava juice in CEP-2 extender to the semen quality during preservation in 3-50C. Semen was divided into four groups (P0 = CEP-2 + KT 20%, P1 = CEP-2 + KT 15% + SBJB 5%, P2 = CEP-2 + KT 10% + SBJB 10%, P3 = CEP-2 + KT 5% + SBJB 15%). Data obtained on this research were analyzed of variant (anova) according to Randomized Block Design, if there was difference between the treatments then tested using Duncan’s Multiple Range Test. Pearson’s Chi Square analysis with expected value 40% was used to compare the motility percentage of the best various level of egg yolk and guava juice, and used to compare total motile sperm count with expected value 40 million cells/mL as described in SNI. The result showed that the liquid semen of limousin after 24h chilled preservation gave the best result in P0 (41,5 ± 2,11%) and was highly significant (P<0,01) to the others treatments, listed from the higher to the lower from P2, P1, and P3: 36,5 ± 4,89%; 33 ± 5,63%; and 30 ± 4,4%  respectively. The viability after 24h preservation showed the best result in P0 (70,43 ± 1,95%) and was highly significant different (P<0,01) compared to P2, P1 and P3: 60,29 ± 4,36%; 55,06 ± 5,09%; and 49,25 ± 3,57% respectively. The abnormality after 24h preservation also gave the best result in P0 (15,45 ± 1,80%) and was highly significant different (P<0,01) compared to P1, P2 and P3(16,33 ± 1,56%; 16,49 ± 1,30%; and 18,41 ± 1,66%) respectively. Total motile sperm count was significantly higher (P<0,01) in all treatments (P0, P1, P2, and P3) compared to the standard criteria of SNI 40 million cells/mL. The best kind of extender seen by its quality belong to P0 which could maintain the sperm motility above 40% after 24h preservation.

Key Words: egg yolk, liquid semen, guava juice, chilled preservation
 

PENDAHULUAN
            Kebutuhan sapi potong bakalan untuk menghasilkan daging bagi keperluan konsumen di Indonesia semakin tinggi. Meningkatnya permintaan daging sapi setiap tahunnya menyebabkan stok daging sapi nasional belum mampu mencukupi kebutuhan skala nasional. Upaya mewujudkan peningkatan populasi dan produktivitas sapi lokal sebagai salah satu plasma nutfah asli Indonesia adalah dengan diterapkan teknologi tepat guna di bidang reproduksi yang mendukung seperti inseminasi buatan menggunakan sapi yang mempunyai kualitas unggul diantaranya sapi Limousin (Suharyati dan Hartono, 2011; Lubis, Dasrul, Thasmi, dan Akbar. 2013; Arifiantini, Yusuf, dan Graha. 2005a; Komariah, Arifiantini, dan Nugraha. 2013; Ervandi, Susilawati, dan Wahyuningsih. 2013; Indriani, Susilawati, dan Wahyuningsih. 2013).
Penyimpanan semen pada suhu rendah (umumnya pada suhu 3-50C dan –1960C) adalah terjadinya suatu proses yang disebut cekaman dingin (cold shock) yang dapat merusak membran plasma sel dan berakibat kematian spermatozoa. Untuk meminimalkan kerusakan sel spermatozoa akibat pengaruh buruk suhu rendah tersebut, maka upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menambahkan berbagai zat ke dalam pengencer semen (Rizal, 2006).
Pengencer cauda epididymal plasma (CEP-2) adalah salah satu jenis pengencer yang memiliki komposisi kimia sama dengan cauda epididymal plasma dari sapi (Verberckmoes, Soom, Dewulf, and Pauw. 2004). Pengencer CEP-2 mengandung sumber energi yang baik untuk spermatozoa berupa fruktosa, beberapa mineral (seperti Na, Ca, K), pH, dan osmolaritas yang sama dengan keadaan pada plasma kauda epididimis. Jenis krioprotektan ekstraseluler yang sudah sangat lazim digunakan dalam proses pendinginan (preservasi) semen adalah kuning telur karena mengandung lesitin dan lipoprotein. Kuning telur merupakan krioprotektan ekstraseluler mengandung lipoprotein dan lesitin yang melindungi membran sel spermatozoa untuk mencegah terjadinya cold shock selama pendinginan pada suhu 5°C. Jambu biji (Psidium guajava) merupakan salah satu jenis buah-buahan yang mengandung zat antioksidan yang diperlukan untuk kelangsungan hidup spermatozoa, dimana mengandung vitamin C yang cukup tinggi sebesar 87 mg (U.S.Department of Agriculture, 2014). Vitamin C mampu menangkap aktivitas radikal bebas dan mencegah terjadinya reaksi rantai, sehingga dapat menghindari kerusakan peroksidatif yang berpengaruh terhadap viabilitas dan fertilitas spermatozoa (Aslam, Dasrul, dan Rosmaidar. 2014; Lubis dkk., 2013).
Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini dilakukan dengan menambahkan berbagai konsentrasi kuning telur dan sari buah jambu biji pada pengencer CEP-2 selama pendinginan pada suhu 3-50C. Sehingga diharapkan dapat diketahui level optimum pemberian sari buah jambu biji untuk mencegah radikal bebas dari kerusakan peroksidatif pada spermatozoa dan mampu mempertahankan kualitas semen cair selama penyimpanan suhu 3-50C.

MATERI DAN METODE
Penelitian Uji Kualitas Semen dilaksanakan pada tanggal 12 – 26 Mei 2014 di Laboratorium Balai Besar Inseminasi Buatan Singosari Kabupaten Malang. Materi penelitian yang digunakan yaitu semen segar yang berasal dari 4 ekor pejantan sapi Limousin yang masing-masing bernama Bortoli, Dunlop, Audi, dan Minang berumur antara 6 hingga 11 tahun yang dipelihara di Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari. Semen yang digunakan memiliki kriteria motilitas massa ++ dan motilitas individu ≥ 55%, dengan frekuensi penampungan semen dua kali dalam seminggu yakni pada hari Senin dan Kamis. Semen segar dikoleksi dengan menggunakan teknik vagina buatan dan selanjutnya diuji kualitasnya meliputi pemeriksaan makroskopis yakni volume, warna, bau, konsitensi, dan pH. Uji mikroskopis meliputi motilitas, viabilitas, abnormalitas, dan konsentrasi. Sari buah jambu biji dibuat dengan perbandingan buah jambu biji dan pelarut Aquadest sebesar 1 : 2. Kuning telur yang digunakan adalah kuning telur yang berasal dari ayam ras petelur (layer) berumur kurang dari 3 hari yang diperoleh dari peternak ayam petelur di Dusun Manggisari, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang. Metode Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan 10 kali ulangan yaitu P0 = CEP-2 + Kuning Telur 20%; P1 = CEP-2 + Kuning Telur 15% + Sari Buah Jambu Biji 5%; P2 = CEP-2 + Kuning Telur 10% + Sari Buah Jambu Biji 10%; P3 = CEP-2 + Kuning Telur 5% + Sari Buah Jambu Biji 15%.
Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan Analisis Ragam dalam Rancangan Acak Kelompok (Randomized Block Design) yang dikelompokkan berdasarkan waktu penampungan semen. Selanjutnya apabila di antara perlakuan menunjukkan perbedaan pengaruh yang nyata atau sangat nyata, akan dilakukan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test). Perlakuan pengencer terbaik antara (CEP-2 + Kuning Telur) dan (CEP-2 + Kuning Telur + Sari Buah Jambu Biji) kemudian diuji menggunakan Pearson’s Chi Square dengan nilai harapan 40%. Total spermatozoa motil dihitung dengan nilai harapan 40 juta/ml sesuai dengan SNI.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Evaluasi Kualitas Semen Segar
Nilai rataan volume semen segar yang ditampung dari 4 pejantan sapi Limousin (Tabel 1) dalam penelitian adalah 6,08 ± 1.27 ml dengan kisaran 4,6 - 8 ml. Volume semen yang digunakan untuk penelitian termasuk dalam kategori normal. Sesuai dengan pendapat Garner and Hafez (2008) yang melaporkan bahwa volume semen sapi bervariasi setiap penampungan antara 1-15 mililiter atau 5-8 mililiter per ejakulasi. Dengan melihat pada skala tabung yang digunakan untuk menampung semen, maka dapat ditentukan volume semen yang diejakulasikan. Warna semen yang tampak dalam penelitian ini adalah berwarna putih susu. Umumnya semen sapi berwarna putih kekuningan atau hampir seputih susu. Hal ini karena adanya riboflavin di dalam semen (Susilawati, 2013).

Tabel 1. Kondisi umum dan evaluasi semen segar sapi Limousin
Parameter
Rataan ± SD
Standart
Kondisi Umum


Umur (th)
7,6 ± 2,3
-
Bobot Badan (kg)
984 ± 112,27
-
Makroskopis


Volume per ejakulat (ml)
6,08 ± 1,27
6-15 ml
Warna
Putih Susu
Putih susu
pH
6,4 ± 0,14
6,4-6,8
Konsistensi
Sedang
-
Mikroskopis


Motilitas Massa
++
++
Motilitas Individu (%)
58,5 ± 2,24
70%
Viabilitas (%)
83,09 ± 2,22
-
Abnormalitas (%)
10,40 ± 0,73
-
Konsentrasi (Juta/ml)
1197,20 ± 335,25
1000 juta/ml

Penilaian kualitas mikroskopis semen segar terdiri dari motilitas massa, motilitas individu, viabilitas, abnormalitas, dan konsentrasi. Rataan motilitas massa dan motilitas individu yang didapat dari keempat pejantan setelah penampungan adalah masing-masing (++; 58,5 ± 2,24%). Persentase motilitas semen segar di bawah 40% menunjukkan kualitas semen yang kurang baik dan berhubungan dengan infertilitas karena persentase spermatozoa yang motil dalam keadaan normal adalah 70 – 90 motil (Susilawati, 2013). Banyak faktor yang mempengaruhi perbedaan nilai motilitas spermatozoa diantaranya umur, bangsa, kematangan spermatozoa, dan kualitas plasma spermatozoa (Komariah dkk., 2013). Susilawati (2011b) menyebutkan bahwa semen segar yang mempunyai persentase motilitas di atas 70% lebih tahan hidup dibandingkan bila lebih rendah dari 70%. Rataan konsentrasi semen segar 1197,20 ± 335,25 juta/ml sudah sesuai dengan standar yaitu di atas 1000 juta/ml. Dilaporkan oleh (Susilawati, 2013; Garner and Hafez, 2008) bahwa konsentrasi semen sapi bervariasi dari 1000-1800 juta spermatozoa tiap mililiter atau 800-2000 juta spermatozoa tiap mililiter.
            Viabilitas spermatozoa pada semen segar adalah 83,09 ± 2,22%. Viabilitas semen tersebut termasuk kategori sangat baik karena persentase viabilitas di atas 70% atau persentase viabilitas harus di atas persentase motilitas. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Arifiantini dkk (2005a) bahwa persentase viabilitas spermatozoa pada semen segar yang diperoleh adalah 83,38 – 88,94%, ini artinya persentase viabilitas spermatozoa pada penelitian masih tergolong baik. Rataan nilai abnormalitas semen segar sapi Limousin pada penelitian ini masih tergolong baik (10,40 ± 0,73%) dan memenuhi kriteria semen segar yang baik. Semen yang berkualitas baik memiliki 5-15% spermatozoa abnormal (Campbell et al., 2003 dalam Arifiantini dkk., 2005a), Sedangkan Garner and Hafez (2008) menyatakan bahwa abnormalitas spermatozoa tidak boleh melebihi 20%.

Persentase Motilitas Spermatozoa Selama Pendinginan 3-50C
Nilai rataan dan SD motilitas perlakuan P0 (Tabel 2) selama pendinginan hingga jam ke 24 menunjukkan hasil di atas standar yang ditetapkan oleh SNI untuk inseminasi buatan yakni sebesar 41,5 ± 2,11%. Disitasi dari penelitian Ducha dkk (2012) yang menyebutkan bahwa persentase motilitas pada pengencer CEP-2 dengan kuning telur 20% mampu mempertahankan persentase motilitas spermatozoa sapi Limousin yang terbaik selama penyimpanan pada suhu 3-50C. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian (Graham and Foote, 1987 dalam Ducha, 2012) yang menyebutkan bahwa motilitas terbaik spermatozoa sapi selama penyimpanan diperoleh dari spermatozoa yang disimpan dalam pengencer yang mengandung kuning telur 20%, sedangkan perlakuan P1, P2, dan P3 dengan penambahan konsentrasi kuning telur dan sari buah jambu biji menunjukkan persentase motilitas jam ke 24 masing-masing sebesar (33 ± 5,63%; 36,5 ± 4,89%; 30 ± 4,41%). Namun penelitian Susilawati (2011a) menyebutkan bahwa sampel sapi yang di inseminasikan dengan semen beku PTM 20-30%, 30-40% dan > 40% pada pengamatan NRR (0-30 hari), (30-60 hari), dan (60-90 hari) menunjukkan angka kebuntingan yang tinggi yakni berkisar antara 90-100%. Ini artinya bahwa semen yang memiliki PTM (Post Thawing Motility) dibawah 40% masih layak digunakan untuk inseminasi buatan.

Tabel 2. Rataan ± SD persentase motilitas pada berbagai perlakuan pengencer selama pendinginan
Perlakuan
Jam ke 0
Jam ke 1
Jam ke 2
Jam ke 3
Jam ke 24
P0
57,75 ± 2,19a
56  ± 1,75a
54,5 ± 1,97a
51,75 ± 3,13a
41,5 ± 2,11a
P1
57 ± 1,58a
54,75 ± 1,42a
52,75 ± 1,84 ab
51 ± 3,16a
33 ± 5,63c
P2
57,25 ± 1,84a
56 ± 1,29a
54,75 ± 1,42a
52,5 ± 2,89a
36,5 ± 4,89b
P3
55 ± 1,67b
53 ± 2,84b
51,25 ± 4,45b
47,75 ± 5,06b
30 ± 4,41d
Keterangan:
Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)

Hasil analisis statistik pada penelitian memperlihatkan bahwa perlakuan P0 secara signifikan (P<0.01) berbeda sangat nyata dan mampu mempertahankan persentase motilitas di atas 40% hingga jam ke-24. Perlakuan  P1, P2,  dan P3 dengan penambahan konsentrasi sari buah jambu biji dan kuning telur pada jam ke-24 sudah turun di bawah 40%, menandakan bahwa perlakuan P0 masih jauh lebih baik jika dibandingkan dengan perlakuan P1, P2, dan P3. Sedangkan hasil penelitian terdahulu yang menambahkan zat antioksidan pada berbagai pengencer justru mampu bertahan hingga hari ke 4 dan hari ke 5 dengan persentase motilitas masih di atas 40%.
Proses cooling, freezing, dan thawing sangat mempengaruhi stabilitas dan fungsi-fungsi hidup sel membran. Penurunan kualitas spermatozoa diatas terjadi karena adanya kerusakan struktur membran selama pendinginan sehingga proses metabolisme spermatozoa terganggu (Susilawati, 2000). Penurunan persentase motilitas spermatozoa setelah pendinginan disebabkan oleh semakin sedikitnya spermatozoa yang memiliki cadangan energi yang cukup untuk bergerak, karena spermatozoa yang telah mengalami cekaman dingin (suhu rendah) dapat mengalami destabilisasi membran (Sugiarti, 2004 dalam Lubis dkk., 2013).

Persentase Viabilitas Spermatozoa Selama Pendinginan 3-50C
Perlakuan P0 (Tabel 3) memiliki daya preservasi spermatozoa yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lain dan pengamatan viabilitas hingga jam ke 24 menunjukkan nilai viabilitas sama dengan 70%. Perlakuan P1, P2, dan P3 persentase viabilitasnya juga masih dalam kisaran normal yakni pada P1 masih tergolong di atas 50%, P2 tergolong sama dengan 60%, dan P3 tergolong di atas 45%. Pada jam ke 24 persentase viabilitas menurun drastis pada berbagai perlakuan dengan penambahan konsentrasi kuning telur dan sari buah jambu biji, sedangkan pada perlakuan P0 masih mampu mempertahankan persentase viabilitas pada kisaran 70% hingga jam ke 24 selama pendinginan.

Tabel 3. Rataan ± SD persentase viabilitas pada berbagai perlakuan pengencer selama   pendinginan
Perlakuan
Jam ke 0
Jam ke 1
Jam ke 2
Jam ke 3
Jam ke 24
P0
80,44 ± 1,66a
80,01 ± 1,56a
79,29 ± 1,76a
78,29 ± 1,48a
70,43 ± 1,95a
P1
78,54± 1,98b
77,51 ± 2,11b
76,56 ± 2,06 bc
76,28 ± 1,64b
55,06 ± 5,09c
P2
79,56 ± 2,36a
79,06 ± 1,89a
77,89 ± 2,11b
76,81 ± 1,85b
60,29 ± 4,36b
P3
77,19 ± 2,13c
76,33 ± 2,54b
75,21 ± 2,06c
73,98 ± 2,17c
49,25 ± 3,57d
Keterangan:
Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01).

Nilai rataan dan SD viabilitas mulai jam ke 0 hingga jam ke 24 menunjukkan bahwa perlakuan P0 (CEP-2 + KT 20%) mampu mempertahankan daya hidup spematozoa pada kisaran 70% sebesar (70,43 ± 1,95%) dan berpengaruh berbeda sangat nyata (P<0.01) dengan perlakuan P1 (CEP-2 + KT 15% + SBJB 5%), P2 (CEP-2 + KT 10% + SBJB 10%), P3 (CEP-2 + KT 5% + SBJB 15%) yang sudah turun di bawah 70%. Persentase viabilitas mulai dari yang tertinggi hingga terendah ditunjukkan pada perlakuan P0 kemudian disusul P2, P1, dan P3. Persentase viabilitas selalu mengalami penurunan seiring dengan lama penyimpanan pada suhu 3-50C. Pada jam ke 0 dan jam ke 1 persentase viabilitas perlakuan P0 menunjukkan hasil yang baik dengan kisaran 80% yakni masing-masing (80,44 ± 1,66%; 80,01 ± 1,56%) jika dibandingkan dengan perlakuan (P1, P2, P3) pada berbagai penambahan konsentrasi kuning telur dan sari buah jambu biji. Namun perlakuan P2 (CEP-2 + KT 10% + SBJB 10%) persentase viabilitasnya sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan P1 dan P3. Bila dilihat dari analisis statistik bahwa perlakuan P2 pada jam ke 0 dan jam ke 1 persentase viabilitasnya hampir mendekati 80% yakni masing-masing (79,56 ± 2,36%; 79,06 ± 1,89%).
Kualitas dari pengencer CEP-2 yang ditambahkan dengan konsentrasi kuning telur dan sari buah jambu biji dalam mempertahankan daya preservasi spermatozoa belum memberikan pengaruh yang baik terhadap viabilitas. Namun penelitian terdahulu menyebutkan  bahwa penambahan zat antioksidan pada pengencer memiliki manfaat yang cukup baik diantaranya mencegah aktivitas radikal bebas terhadap kerusakan membran sel spermatozoa yang berpengaruh terhadap viabilitas dan fertilitas spermatozoa, berperan sebagai sumber energi untuk mempertahankan motilitas spermatozoa, di samping itu juga untuk memperbaiki komposisi dan kondisi fisiologis dari pengencer tersebut (Aslam dkk., 2014; Lubis dkk., 2013).
Penurunan viabilitas spermatozoa selama penyimpanan disebabkan oleh meningkatnya jumlah spermatozoa rusak dan mati akibat kekurangan energi (Solihati, Idi, Rasad, Rizal, dan Fitriati. 2008). Pareira et al. (2010) menyatakan bahwa viabilitas akan menurun akibat suhu dingin selama penyimpanan, ketersediaan energi dalam pengencer semakin berkurang, dan menurunnya pH karena terjadi peningkatan asam laktat hasil metabolisme spermatozoa, adanya kerusakan membran plasma dan akrosom. Tingkat kandungan asam laktat berkaitan dengan daya gerak spermatozoa dan daya tahan hidup spermatozoa (Tambing, Toelihere, Yusuf, dan Sutama. 2001).

Persentase Abnormalitas Spermatozoa Selama Pendinginan 3-50C
Perlakuan P0 (Tabel 4) menunjukkan persentase abnormalitas paling rendah (terbaik) mulai jam ke 0 hingga jam ke 24. Hal ini dikarenakan kondisi pengencer CEP-2 dan 20% KT mampu melindungi membran spermatozoa selama pendinginan sehingga meminimalisir abnormalitas. Kuning telur yang ditambahkan dalam pengencer CEP-2 mengandung lesitin dan lipoprotein yang dapat berikatan dengan membran plasma. (Selamet Aku, Sandiah, Sadsoetubun, Amin, dan Herdis. 2007).
Spermatozoa abnormal meningkat selama proses pendinginan dan pembekuan disebabkan oleh cekaman dingin/cold shock, ketidakseimbangan tekanan osmotik akibat dari proses metabolisme yang terus berlangsung selama penyimpanan suhu 3-50C (Solihati dkk., 2008). Selain itu pembuatan preparat ulas yang kurang tepat juga menyebabkan kerusakan pada spermatozoa seperti ekor dan kepala putus. Morfologi abnormalitas pada spermatozoa berhubungan dengan fertilitas. Dengan demikian bahwa pengaruh tingginya abnormalitas berasal dari prossesing penyimpanan dan kondisi fisiologis dari pengencer tersebut, selain itu juga dari faktor pejantan saat penampungan yang berhubungan dengan fertilitas ternak itu sendiri (Susilawati, 2013).

Tabel 4. Rataan ± SD persentase abnormalitas pada berbagai perlakuan pengencer selama pendinginan
Perlakuan
Jam ke 0
Jam ke 1
Jam ke 2
Jam ke 3
Jam ke 24
P0
 11,98 ± 0,91a
12,14 ± 1,08a
12,41 ± 1,25a
12,8 ± 1,10a
15,45 ± 1,80a
P1
13,84± 0,75b
14,14 ± 0,94b
14,4 ± 0,94b
14,7 ± 1,20b
16,33 ± 1,56a
P2
13,29 ± 0,85b
13,58 ± 0,85b
13,83 ± 1,14b
14,25 ± 1,01b
16,49 ± 1,30a
P3
15,33 ± 0,57c
15,65 ± 0,70c
15,93 ± 0,89c
16,59 ± 1,34c
18,41 ± 1,66b
Keterangan:
Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01).

Rataan dan SD abnormalitas menunjukkan bahwa perlakuan P0 (CEP-2 + KT 20%) memberikan hasil terbaik mulai jam ke 0 hingga jam ke 24 masing-masing (11,98 ± 0,91%; 12,14 ± 1,08%; 12,41 ± 1,25%; 12,8 ± 1,10%; 15,45 ± 1,80%). Rataan tersebut masih berada dalam kisaran normal. Diperkuat oleh (Campbell et al., 2003 dalam Arifiantini dkk., 2005a) semen yang berkualitas baik memiliki 5-15% spermatozoa abnormal, tetapi berbeda dengan pendapat Garner and Hafez (2008) yang menyebutkan bahwa abnormalitas spermatozoa tidak boleh melebihi 20%. Apabila dilihat dari keseluruhan perlakuan P0, P1, P2, dan P3 bahwa persentase abnormalitas dalam penelitian masih tergolong baik di bawah 20% hingga jam ke 24, namun rataan terbaik diperoleh pada perlakuan P0. Diperkuat kembali oleh (Hafez, 2000 dalam Alawiyah 2006) selama abnormalitas spermatozoa belum mencapai 20% dan tidak lebih dari itu, maka semen tersebut masih layak untuk diproses selanjutnya. Angka morfologi abnormal 8–10% tidak memberi pengaruh yang cukup berarti bagi fertilitas, tetapi jika abnormalitas lebih dari 25% dari satu ejakulat maka penurunan fertilitas tidak dapat diantisipasi (Parera dkk., 2009).

Total Spermatozoa Motil
Spermatozoa dikatakan motil apabila spermatozoa tersebut bergerak ke depan (progressive motility), sedangkan spermatozoa dengan gerakan melingkar (non progressive motility) bukan termasuk motil. Motilitas atau daya gerak progresif spermatozoa mempunyai peranan yang penting untuk keberhasilan fertilisasi (Arifiantini dkk., 2005b). Rataan hasil penghitungan total spermatozoa motil pada berbagai perlakuan pada pendinginan jam ke 24 seperti pada tabel 5.
Tabel 5 menunjukkan bahwa total spermatozoa motil untuk keseluruhan perlakuan baik pada P0, P1, P2, dan P3 memiliki nilai rataan yang lebih tinggi dari nilai harapan 40 juta/ml spermatozoa motil. Nilai harapan 40 juta spermatozoa motil per mililiter mengacu pada standar yang telah ditetapkan oleh SNI untuk inseminasi buatan yakni konsentrasi spermatozoa 100 juta/ml dengan motilitas individu 40% (BSN, 2005).

Tabel 5. Total motil spermatozoa pada pendinginan jam ke 24
Perlakuan
Total Spermatozoa Motil (juta/ml)
SD
P0
81,24
16,24
P1
60,15
16,05
P2
70,86
17,18
P3
55,51
14,54
Nilai Harapan
40,00
-

Analisis statistik menggunakan Pearson’s Chi Square dengan nilai harapan 40 juta spermatozoa motil menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) lebih tinggi pada semua perlakuan selama pendinginan 24 jam. Perlakuan P0 memiliki total spermatozoa motil tertinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lain yakni sebesar (81,24 ± 16,24 juta/ml) kemudian disusul oleh P2, P1, dan P3 yang masing-masing sebesar (70,86 ± 17,18 juta/ml; 60,15 ± 16,05 juta/ml; 55,51 ± 14,54 juta/ml). Penggunaan konsentrasi kuning telur dan sari buah jambu biji selama pendinginan 24 jam dapat diaplikasikan untuk inseminasi buatan karena nilai harapan menunjukkan hasil yang lebih tinggi dari standar yang ditetapkan SNI yaitu 40 juta/ml spermatozoa motil.

KESIMPULAN DAN SARAN
Pengencer yang kualitasnya terbaik terdapat pada perlakuan P0, kemudian disusul oleh perlakuan P2, P1, dan P3 dengan penambahan konsentrasi kuning telur dan sari buah jambu biji.
Total spermatozoa motil menunjukkan bahwa keseluruhan perlakuan pada P0, P1, P2, dan P3 memiliki nilai harapan motilitas individu di atas 40% yang telah ditetapkan SNI, sehingga semen cair ini dapat diaplikasikan untuk inseminasi buatan.
Saran untuk penelitian perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui level optimum pada penambahan konsentrasi kuning telur dan sari buah jambu biji dalam pengencer CEP-2 untuk mempertahankan kualitas semen cair selama lebih dari 24 jam.
Penelitian ini menggunakan semen afkir dengan motilitas ≥ 55%, sehingga perlu penelitian lebih lanjut dengan menggunakan semen segar yang persentase motilitas awalnya harus sesuai dengan standar  70%.

DAFTAR PUSTAKA
Alawiyah, D., dan M. Hartono. 2006. Pengaruh penambahan vitamin E dalam bahan pengencer sitrat kuning telur terhadap kualitas semen beku kambing boer. J.Indon.Trop.Anim.Agric. 31(1): 8-14.
Aku, A.S., N. Sandiah, P.D. Sadsoetubun, M.R. Amin, dan Herdis. 2007. Manfaat Lesitin Nabati pada Preservasi dan Kriopreservasi Semen: Suatu Kajian Pustaka. Animal Production 9(1): 49 – 52, ISSN: 1411-2027.
Arifiantini, L., T.L. Yusuf, dan N. Graha. 2005a. Longivitas dan recovery rate pasca thawing semen beku sapi Friesian Holstein menggunakan bahan pengencer yang berbeda. Buletin Peternakan 29(2): 57-61, ISSN: 0126-4400.
Arifiantini, L., T.L. Yusuf, dan Yanti D. 2005b. Kaji banding kualitas semen beku sapi Friesian Holstein menggunakan pengencer dari berbagai balai inseminasi buatan di Indonesia. Animal Production 7(3): 168-176.
Aslam, H.A., Dasrul, dan Rosmaidar. 2014. Pengaruh penambahan vitamin c dalam pengencer Andromed terhadap persentase motilitas dan membran plasma utuh spermatozoa sapi Aceh setelah pembekuan. Jurnal Medika Veterinaria 8(1): 20-26, ISSN: 0853-1943.
Badan Standardisasi Nasional. 2005. Semen Beku Sapi. SNI 01-4869.1-2005. BSN. Jakarta.
Campbell, J.R., K.L. Campbell, and M.D. Kenealy. 2003. Artificial Insemination. In: Animal Sciences 4th ed. New York, Mc Graw-Hill.
Ducha, N., T. Susilawati, Aulanni’am, dan S. Wahyuningsih. 2013. Motilitas dan viabilitas spermatozoa sapi Limousin selama penyimpanan pada refrigerator dalam pengencer CEP-2 dengan suplementasi kuning telur. Jurnal Kedokteran Hewan 7(1): 5 – 8, ISSN: 1978-225X.
Ervandi, M., T. Susilawati, dan S. Wahyuningsih. 2013. Pengaruh pengencer yang berbeda terhadap kualitas spermatozoa sapi hasil sexing dengan gradien albumin (putih telur). JITV 18(3): 177-184.
Garner, D.L., and E.S.E. Hafez. 2008. Spermatozoa and Plasma Semen.In Reproduction in Farm Animal. Hafez E.S.E. and B. Hafez (eds.). 7th ed. Lippincott & Williams. Baltimore, Marryland, USA: 82-95.
Indriani, T. Susilawati, dan S. Wahyuningsih. 2013. Daya hidup spermatozoa sapi Limousin yang dipreservasi dengan metode water jacket dan free water jacket. Jurnal Veteriner 14(3): 379 – 386, ISSN: 1411-8327.
Komariah, L. Arifiantini, dan F.W. Nugraha. 2013. Kaji banding kualitas spermatozoa sapi Simmental, Limousin, dan Friesian Holstein terhadap proses pembekuan. Buletin Peternakan 37(3): 143-147, ISSN: 0126-4400.
Lubis, T.M., Dasrul, C.N. Thasmi, dan T. Akbar. 2013. Efektivitas penambahan vitamin c dalam pengencer susu skim kuning telur terhadap kualitas spermatozoa kambing Boer setelah penyimpanan dingin. Jurnal S. Pertanian 3(1): 347-361 ISSN: 2088- 0111.
Pareira, G.R., E.G. Becker, L.C. Siquiera, R. Ferreira, C.K. Severo, V.S. Truzzi, J.F.C. Oliveira, and P.B.D. Goncalves. 2010. Assesment of Bovine Spermatozoa Viability Using Different Cooling Protocols Prior to Cryopreservation. Italian Journal of Animal Science 9: 403- 407.
Parera, F., Z. Prihatiny, D.F. Souhoka, dan M. Rizal. 2009. Pemanfaatan sari wortel sebagai pengencer alternatif spermatozoa epididimis sapi Bali. J. Indon.Trop.Anim. Agric. 34(1): 50-56.
Rizal, M. 2006. Pengaruh penambahan laktosa di dalam pengencer tris terhadap kualitas semen cair domba Garut. J Pengembang Pet Trop. 31: 224-231.
Solihati, N., R. Idi, S.D. Rasad, M. Rizal, dan M. Fitriati. 2008. Kualitas spermatozoa cauda epididimis sapi peranakan Ongole (PO) dalam pengencer susu, tris dan sitrat kuning telur pada penyimpanan 4-5°C. Animal Production 10(1): 22-29, ISSN: 1411-2027.
Suharyati, S., dan M. Hartono. 2011. Preservasi dan kriopreservasi semen sapi Limousin dalam berbagai bahan pengencer. Jurnal Kedokteran Hewan 5(2): 53 -58, ISSN: 1978-225X.
Susilawati, T. 2000. Analisis Membran Spermatozoa Sapi Hasil Filtrasi Sephadex dan Sentrifugasi Gradien Densitas Percoll Pada Proses Seleksi Jenis Kelamin. Disertasi. Pascasarjana Universitas Airlangga.         Surabaya.
Susilawati, T. 2011a. Tingkat keberhasilan inseminasi buatan dengan kualitas dan deposisi semen yang berbeda pada sapi peranakan Ongole. J. Ternak Tropika 12(2): 15-24.
__________.  2011b. Spermatology. Universitas Brawijaya (UB) Press. Malang, ISBN: 978-602-8960-04-5.
Susilawati, T. 2013. Pedoman Inseminasi Buatan pada Ternak. Universitas Brawijaya (UB) Press. Malang, ISBN: 978-602-203-458-2.
Tambing, S.N., M.R. Toelihere, T.L. Yusuf, dan I.K. Sutama. 2001. Kualitas semen beku kambing peranakan Etawah setelah ekuilibrasi. Jurnal Ilmu Hayati 8: 70-75.
U.S. Department of Agriculture. 2014. Full Report (All Nutrients) 09139, Guavas, raw. USDA National Nutrient Database for Standard Reference, Release 26.
Verbeckmoes, S., A. Van Soom, J. Dewulf, I. De Pauw, and A. de Kruif. 2004. Storage of fresh bovine semen in diluent based on the ionic composition of cauda epididymal plasma. Reprod. Domest. Anim. 39(6): 1-7.