Jumat, 08 Januari 2016

Desain Kandang Unik untuk Berbagai Jenis Unggas dari Luar Negeri, Bisa Diaplikasikan di Indonesia














Belajar dari Inseminator Selandia Baru

Orang yang memiliki keahlian melakukan inseminasi buatan (IB) atau kawin suntik pada sapi, umum diistilahkan dengan inseminator. Dan LIC (Livestock Improvement Corporation), semacam perusahaan pembibitan sapi di Selandia Baru, mematok standar tiap inseminatornya harus mampu merampungkan proses inseminasi per ekor dalam waktu tidak lebih dari 1 menit, dengan conception rate atau tingkat keberhasilan bunting di angka rata-rata 74 %.

Gambaran ini dipaparkan oleh Maureen Joblin, salah seorang supervisor inseminasi buatan dari LIC, untuk wilayah Mid Canteburry. Maureen yang lebih dari 25 tahun berpengalaman sebagai Artificial Breeding Supervisor dihadirkan menjadi pembicara dalam “The 12th DairyPro Workshop on Reproduction Program” yang diselenggarakan di Gedung GKSI (Gabungan Koperasi Susu Indonesia) Cabang Jawa Timur, di Karangploso, Malang (14/7). Ditegaskan oleh Maureen, selain faktor genetik dan faktor kejadian penyakit, keberhasilan inseminasi buatan sehingga sapi jadi bunting sangat ditentukan oleh sang inseminator.

Maureen menjelaskan, inseminator di LIC wajib mencapai angka rata-rata conception rate 74 % dikarenakan harus mengikuti musim. Pasalnya, di New Zealand tidak sepanjang tahun rumput tersedia banyak untuk pakan ternak. Karena itu peternakan pembibitan dituntut untuk bisa melakukan rasionalisasi agar ternak bunting di saat musim dengan ketersediaan rumput melimpah untuk menunjang kesehatan ternak.

Ia menambahkan, penilaian terhadap inseminator tidak memandang gender ataupun usia. “Ketika dia bisa bekerja dengan baik, dan mencapai conception rate sesuai target, maka dia akan terus dipekerjakan di LIC,” ujarnya. Situasi ini berbeda dengan di Indonesia. Maureen menilai, di Indonesia senioritas menjadi variabel. Perbedaan budaya dan etos kerja yang masih melekat ini, menurut dia, berpengaruh pada tingkat produksi, yang jadi salah satu kendala dalam mencapai hasil maksimal.

Sepele tapi Signifikan

Dalam melakukan inseminasi semua hal perlu diperhatikan mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling besar, karena semua bisa jadi faktor penyebab kegagalan. Disamping teknik dasar inseminasi yang secara teori dan praktek harus dikuasai, beberapa titik kritis perlu diperhatikan sekalipun seolah sepele. Maureen mengingatkan beberapa hal sederhana yang sering menjadi sebab gagalnya IB.

Sumber : www.trobos.com 

Mengenal Padang Penggembalaan untuk Pembibitan Sapi Potong


Kupang (TROBOS.COM). Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki areal padang penggembalaan sapi ratusan ribu hektar, seperti yang ditemukan di Kabupaten Sumba Timur dan Timor Tengah Selatan (TTS). Dengan memanfaatkan padang penggembalaan secara optimal, diharapkan akan menurunkan harga sapi lokal jika dibandingkan dengan sapi impor sehingga bersaing dengan negara lain.

Laman resmi Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian – Kementan memuat, rincian potensi luasan padang penggembalaan di NTT adalah : Kota Kupang sendiri memiliki areal penggembalaan sapi seluas 150 hektar, Kabupaten Kupang dan Sabu Raijua 159 hektar.  Kemudian Kabupaten TTS memiliki area 114.396 hektar, TTU 86.339 hektar, Belu 19.698 hektar, Alor 16.166 hektar, Lembata 23.255 hektar, Flores Timur 33.291 hektar, Sikka 19.389 hektar, Ende 910 hektar, Ngada dan Nagekeo 23.668 hektar, Manggarai dan Manggarai Timur 1.550 hektar, Manggarai Barat 16.900 hektar, Sumba Timur 215.799 hektar, Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya 83.635 hektar dan Rote Ndao 17.556 hektar.

Laporan itu menyebutkan, padang penggembalaan adalah tempat atau lahan yang ditanami rumput unggul dan atau legume (jenis rumput/legume yang tahan terhadap injakan ternak) yang digunakan untuk menggembalakan ternak. Sistem penggembalaan adalah pemeliharaan ternak sapi dengan dilepaskan di padang penggembalaan yang luas.

Penggembalaan ternak di padang penggembalaan meliputi beberapa metode, diantaranya cara ekstensif yaitu dengan menggembalakan ternak di padangan yang luas tanpa erosi. Metode  semi-ekstensif dengan melakukan rotasi namun pemilihan hijauan masih bebas. Sedangkan cara intensif dilakukan dengan rotasi tiap petak dengan hijauan dibatasi, strip grazing dengan menempatkan kawat sekeliling ternak yang bisa dipindah dan rolling dengan hijauan padangan yang dipotong dan diberikan kepada ternak di kandang peneduh.

Padang penggembalaan memiliki klasifikasi, diantaranya padang penggembalaan alam, padang penggembalaan permanen yang sudah di upgrade, padang penggembalaan temporer dan padang panggembalaan irigasi.

Syarat rumput yang baik adalah memiliki produksi hijauan tinggi dan berkualitas baik, dan persisten / bisa bersanding dengan tanaman lain. Pastura yang baik nilai cernanya adalah pastura yang tinggi kanopinya yaitu 25–30 cm setelah dipotong.

Pemeliharaan sapi di padang gembala dilakukan dengan sistem semi intensif, saat pagi hari (jam 10.00) ternak digiring ke padang penggembalaan dengan sistem penggembalaan bergilir. Pada sore (jam 16.00) hari ternak digiring kembali ke kandang dan diberi pakan hijauan rumput potong (rumput gajah). Istimewa / Nuruddin

Sumber: www.trobos.com