Minggu, 18 September 2011

Mengenal Manfaat Minum Susu Bagi Kecerdasan Manusia Indonesia

susuSejarah manusia mengkonsumsi susu sapi telah dimulai sejak ribuan tahun sebelum masehi, ketika manusia mulai mendomestikasi ternak penghasil susu untuk dikonsumsi hasilnya. Daerah yang memiliki peradaban tinggi seperti Mesopotamia, Mesir, India, dan Yunani diduga sebagai daerah asal manusia pertama kali memelihara sapi perah Hal tersebut ditunjukkan dari berbagai bukti berupa sisa-sisa pahatan gambar sapi dan adanya kepercayaan masyarakat setempat yang menganggap sapi sebagai ternak suci. Pada saat itu pula susu telah diolah menjadi berbagai produk seperti mentega dan keju. Ketersediaan susu di zaman modern ini merupakan hasil perpaduan antara pengetahuan tentang susu yang telah berusia ribuan tahun dengan aplikasi teknologi dan ilmu pengetahuan modern (Shiddieqy, 2004).

Susu merupakan sekresi yang dihasilkan oleh mammae/ambing hewan mammalia termasuk manusia dan merupakan makanan pertama bagi bayi manusia dan hewan sejak dilahirkan. Menurut SNI 01-3141-1998 definisi susu murni adalah caiaran yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alamiahnya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan mendapat perlakuan apapun. Susu segar adalah susu murni yang tidak mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniannya.
Komposisi susu terdiri atas air (water), lemak susu (milk fat), dan bahan kering tanpa lemak (solids nonfat). Kemudian, bahan kering tanpa lemak terbagi lagi menjadi protein, laktosa, mineral, asam (sitrat, format, asetat, laktat, oksalat), enzim (peroksidase, katalase, pospatase, lipase), gas (oksigen, nitrogen), dan vitamin (vit. A, vit. C, vit. D, tiamin, riboflavin). Persentase atau jumlah dari masing-masing komponen tersebut sangat bervariasi karena dipengaruhi berbagai faktor seperti faktor bangsa (breed) dari sapi (Anonim, 2004).
Susu merupakan bahan pangan yang memiliki komponen spesifik seperti lemak susu, kasein (protein susu), laktosa (karbohidrat susu), minaral dan vitamin.
Protein Susu
Protein dalam susu mencapai 3,25%. Struktur primer protein terdiri atas rantai polipeptida dari asam-asam amino yang disatukan ikatan-ikatan peptida (peptide linkages). Beberapa protein spesifik menyusun protein susu. Kasein merupakan komponen protein yang terbesar dalam susu dan sisanya berupa whey protein. Kadar kasein pada protein susu mencapai 80%. Kasein terdiri atas beberapa fraksi seperti alpha-casein, betha-casein, dan kappa-casein. Kasein merupakan salah satu komponen organik yang berlimpah dalam susu bersama dengan lemak dan laktosa. Kasein penting dikonsumsi karena mengandung komposisi asam amino yang dibutuhkan tubuh. Dalam kondisi asam (pH rendah), kasein akan mengendap karena memiliki kelarutan (solubility) rendah pada kondisi asam serta kasein mudah dicerna (digestible) saluran pencernaan (Shiddieqy, 2004).
Pemanasan, pemberian enzim proteolitik (rennin), dan pengasaman dapat memisahkan kasein dengan whey protein. Selain itu, sentrifugasi pada susu dapat pula digunakan untuk memisahkan kasein. Setelah kasein dikeluarkan, maka protein lain yang tersisa dalam susu disebut whey protein. Whey protein merupakan protein butiran (globular). Betha-lactoglobulin, alpha-lactalbumin, Immunoglobulin (Ig), dan Bovine Serum Albumin (BSA) adalah contoh dari whey protein. Alpha-lactalbumin merupakan protein penting dalam sintesis laktosa dan keberadaannya juga merupakan pokok dalam sintesis susu. Dalam whey protein terkandung pula beberapa enzim, hormon, antibodi, faktor pertumbuhan (growth factor), dan pembawa zat gizi (nutrient transporter). Sebagian besar whey protein kurang tercerna dalam usus. Ketika whey protein tidak tercerna secara lengkap dalam usus, maka beberapa protein utuh dapat menstimulasi reaksi kekebalan sistemik. Peristiwa ini dikenal dengan alergi protein susu (milk protein allergy) (Shiddieqy, 2004).
Mineral (Kalsium)
Semua mineral susu dibutuhkan oleh manusia dalam perbandingan yang sempurna. Kadar mineral susu adalah 0.85%, terdiri dari Kalsium, Fosfor, Kalium, Natrium, Khlor, dan Magnesium. Selain itu ditemukan elemen-elemen lain dalam kadar rendah dinamakan sebagai trace elemen (jodium, besi, tembaga). Kalsium merupakan bahan makanan yang dibutuhkan dalam diet makanan manusia. Jumlah asupan kalsium sulit diukur bagi orang-orang yang tidak mengkonsumsi susu. Kalsium dibutuhkan oleh ibu hamil, bayi, balita, anak-anak, orang tua bahkan orang dewasa. Kalsium dan vitamin D sangat penting untuk diet makanan manusia lansia terutama wanita setelah masa menopause. Kasus osteoporosis, banyak diderita wanita tua. Sebagai pencegahan diperlukan diet makanan seperi susu. Dalam penyerapan kalsium diperlukan vitamin D. Susu mampu mensuplai sekitar 725 mg kebutuhan kalsium manusia (Sanjaya, 2007).
Karbohidrat susu
Karbohirat merupakan zat organik yang terdiri atas karbon, hidrogen, dan oksigen. Karbohidrat dapat dikelompokkan berdasarkan jumlah molekul gula-gula sederhana (simple sugars) dalam karbohidrat tersebut. Monosakarida, disakarida, dan polisakarida merupakan beberapa kelompok karbohidrat. Laktosa adalah karbohidrat utama susu dengan proporsi 4,6% dari total susu. Laktosa tergolong dalam disakarida yang disusun dua monosakarida, yaitu glukosa dan galaktosa. Rasa manis laktosa tidak semanis disakarida lainnya, seperi sukrosa. Rasa manis laktosa hanya seperenam kali rasa manis sukrosa.
Laktosa dapat memengaruhi tekanan osmosa susu, titik beku, dan titik didih. Keberadaan laktosa dalam susu merupakan salah satu keunikan dari susu itu sendiri, karena laktosa tidak terdapat di alam kecuali sebagai produk dari kelenjar susu. Laktosa merupakan zat makanan yang menyediakan energi bagi tubuh. Namun, laktosa ini harus dipecah menjadi glukosa dan galaktosa oleh enzim bernama laktase agar dapat diserap usus. Enzim laktase merupakan enzim usus yang digunakan untuk menyerap dan mencerna laktosa dalam susu. Jika tubuh kekurangan enzim laktase maka akan terjadi gangguan pencernaan pada saat mengkonsumsi susu. Laktosa yang tidak tercerna akan terakumulasi dalam usus besar dan akan mempengaruhi keseimbangan osmotis di dalamnya, sehingga air dapat memasuki usus. Peristiwa tersebut lazim dinamakan intoleransi laktosa.
Lemak susu
Persentase lemak susu bervariasi antara 2,4% – 5,5%. Lemak susu terdiri atas trigliserida yang tersusun dari satu molekul gliserol dengan tiga molekul asam lemak (fatty acid) melalui ikatan-ikatan ester (ester bonds). Asam lemak susu berasal dari aktivitas mikrobiologi dalam rumen (lambung ruminansia) atau dari sintesis dalam sel sekretori. Asam lemak disusun rantai hidrokarbon dan golongan karboksil (carboxyl group). Salah satu contoh dari asam lemak susu adalah asam butirat (butyric acid) berbentuk asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid) yang akan menyebabkan aroma tengik (rancid flavour) pada susu ketika asam butirat ini dipisahkan dari gliserol dengan enzim lipase.
Lemak susu dikeluarkan dari sel epitel ambing dalam bentuk butiran lemak (fat globule) yang diameternya bervariasi antara 0,1 – 15 mikron. Butiran lemak tersusun atas butiran trigliserida yang dikelilingi membran tipis yang dikenal dengan Fat Globule Membran (FGM) atau membran butiran lemak susu. Komponen utama dalam FGM adalah protein dan fosfolipid (phospholipid). FGM salah satunya berfungsi sebagai stabilisator butiran-butiran lemak susu dalam emulsi dengan kondisi encer (aqueous) dari susu, karena susu sapi mengandung air sekira 87%.
Lemak susu mengandung beberapa komponen bioaktif yang sanggup mencegah kanker (anticancer potential), termasuk asam linoleat konjugasi (conjugated linoleic acid), sphingomyelin, asam butirat, lipid eter (ether lipids), b-karoten, vitamin A, dan vitamin D. Lemak susu mampu menghasilkan asam lemak essensial berupa Arachidonic Acid (AA), yaitu : asam lemak tak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty acids) yang diperlukan untuk pembentukan sel-sel otak yang optimal. Jumlah AA dalam susu sangat mencukupi untuk menjamin pertumbuhan dan kecerdasan anak (Handayani, 2007). Meskipun susu mengandung asam lemak jenuh (saturated fatty acids) dan trans fatty acids yang dihubungkan dengan atherosklerosis dan penyakit jantung, namun susu juga mengandung asam oleat (oleic acid) yang memiliki korelasi negatif dengan penyakit tersebut. Lemak susu mengandung asam lemak esensial, asam linoleat (linoleic acid) dan linolenat (linolenic acid) yang memiliki bermacam-macam fungsi dalam metabolisme dan mengontrol berbagai proses fisiologis dan biokimia pada manusia.
Vitamin susu
Vitamin ditemukan dalam lemak (A, D, E, dan K) dan sebagian dalam air dari susu (Vit. B: aneurin, lactoflavin, asam Nikotinat, asam Pantotenat dan Vit. C). Bersama dengan mineral, ia mampu memperlancar metabolisme dari tubuh (Sanjaya, 2007).
Manusia Indonesia dan Kecerdasan
Kualitas sumber daya manusia Indonesia jauh tertinggal dari sumber daya manusia negara di dunia bahkan dari negara tetangga. Tahun 1998 peringkat sumber daya manusia Indonesia berada di angka 99 dunia. Pada tahun 1999 menurun menjadi 105 dunia dan pada tahun 2004, peringkat sumber daya manusia Indonesia kembali menurun ke angka 111 dunia. Penurunan ini disebabkan oleh kebiasaan minum susu yang rendah, terutama asupan dari susu segar. Bila dibandingkan dengan Amerika Serikat, negara Indonesia jauh tertinggal dalam program khusus menyangkut susu untuk masyarakatnya. Amerika Serikat mampu menyediakan makanan tambahan untuk anak-anak, ibu hamil, dan ibu menyusui dengan program WIC (Women, Infants, and Children). Konsumsi kalsium di Amerika mencapai 743 mg per hari. Dengan rata-rata orang dewasa 539 mg sedangkan anak usia 12-18 tahun 1.179 mg, rekomendasi yang diberikan 800-1200 mg. Di Indonesia, asupan kalsium hanya mencapai 23 mg (Khomsan, 2005).
Untuk tercapainya tujuan pembangunan nasional, dibutuhkan tersedianya sumber daya manusia yang cerdas, tangguh, mandiri serta berkualitas. Data UNDP tahun 1997 mencatat bahwa Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia masih menempati urutan ke 106 dari 176 negara. Tingkat pendidikan dan pendapatan penduduk Indonesia memang belum memuaskan. Menyadari bahwa dalam rangka menghadapi makin ketatnya persaingan bebas pada era globalisasi, upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia berupa peningkatan kecerdasan harus dilakukan melalui peningkatan konsumsi susu (Anonim, 2007).
Susu berperan dalam peningkatan kecerdasan karena susu mengandung Arachidonic Acid (AA), yaitu : asam lemak tak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty acids) yang diperlukan untuk pembentukan sel-sel otak yang optimal. Selain itu susu mengandung sphingomyelin yang berfungsi sebagai komponen membran khusus sistem syaraf (Manalu, 1999).
Penduduk yang cerdas bukan saja akan menunjang keberhasilan program pendidikan, tetapi juga mendorong peningkatan produktivitas dan pendapatan penduduk. Untuk mempercepat keberhasilan pembangunan diperlukan kebijakan yang lebih dinamis dan proaktif dengan melibatkan semua sektor terkait, pemerintah, swasta dan masayarakat (Anonim, 2003).
Sumber Literatur:
Disarikan dari Tulisan Drh. Agus Mulyadi (2009)
Anonim, 2003. Sumber Daya Manusia Indonesia Dalam Pembangunan. Http://www. Departemen-Kesehatan.com. Tanggal kunjungan : 31 Januari 2008.
Anonim, 2004. Otak Kosong Melanda Indonesia. Http://www. Kompas.com. Tanggal kunjungan : 31 Januari 2008.
Anonim, 2007. Susu Bukan Pelengkap. Http://www.human-resources-health.com. Tanggal kunjungan : 31 Januari 2008.
Handayani, F., 2007. Haruskah Kita Memilih Susu dengan Kandungan Ekstra. Http://www.mail-archive.com/milis-nakita@news.gramedia-majalah.com. Tanggal kunjungan : 31 Januari 2008.
Khomsan, A., 2005. Manfaat Susu Sapi. Http:// www. Pikiran-rakyat.com. Tanggal kunjungan : 31 januari 2008.
Manalu, W., 1999. Pengantar Ilmu Nutrisi Hewan. Bagian Fisiologi Dan Farmakologi. FKH. IPB.
Sanjaya, A.W. et al., 2007. Higiene Pangan. Bagian Kesehatan Masyarakat Vteriner Departemen IPHK dan KESMAVET. FKH. IPB. Bogor.
Shiddieqy, 2004. Gizi Masyarakat dan Kualitas Manusia Indonesia. Http:// www. Pikiran-rakyat.com. Tanggal kunjungan : 31 Januari 2008.

Studi Literatur: Karakter ukuran tubuh ayam kampung


RedJFFullPlumageAyam kampung merupakan ayam lokal yang harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Penelitian terkait dengan ayam kampung terus dilakukan. Hal ini semata-mata untuk mempertahankan kualitas plasma nutfah dan berbagai pengembangannya demi kesejahteraan dan kebutuhan manusia akan ayam kampung. Adalah Notosusanto, peneliti muda sekaligus seorang Blogger dari Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat termasuk seorang yang berkiprah terhadap ‘pembangunan dan perkembangan’ ayam kampung. Berikut adalah hasil penelitiaannya yang juga dimuat di Blog pribadi notosusanto.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dasar mengenai penampilan kuantitatif berupa ukuran-ukuran tubuh Ayam Kampung di Kecamatan Jambi Timur Kota Jambi. Peubah yang diamati adalah panjang tarsometatarsus atau tulang kaki, panjang tibia atau tulang kering, panjang femur atau tulang paha, jarak antara tulang pubis, panjang sayap, panjang jari ketiga, bobot telur, panjang taji dan bobot badan. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang sifat kuantitatif ayam Kampung sehingga dapat digunakan untuk program pengembangan dan pemurnian plasma nutfah ayam Kampung serta untuk usaha peningkatan mutu genetik Ayam Kampung. Penelitian ini menggunakan metode survey, pengambilan data dengan metode multistage random sampling. Analisis data dilakukan dengan analisis statistik deskriptif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa karakteristik kuantitatif ayam Kampung di Kecamatan Jambi Timur yaitu; rata-rata panjang tarsometarsus pada ayam Kampung jantan dan betina adalah 87,21±7,62 mm dan 67,77 ± 7,56 mm. Panjang tibia pada ayam Kampung jantan dan betina adalah 128,79 ±11,12 mm dan 104,27 ± 9,44 mm. Panjang femur pada ayam Kampung jantan dan betina adalah 106,32 ±10,63 mm dan 91,67 ± 7,56 mm. Jarak tulang pubis pada ayam Kampung betina adalah 43,37 ± 4,36 mm. Bobot badan pada ayam Kampung jantan dan betina adalah 1,73 ± 0,35 kg dan 1,25 ± 0,21 kg. Bobot telur pada ayam Kampung betina adalah 35,56 ± 5,27 g. Panjang sayap pada ayam Kampung jantan dan betina adalah 166,56 ±14,69 mm dan 148,26 ± 14,26 mm. Panjang jari ketiga pada ayam Kampung jantan dan betina adalah 51,14 ± 3,76 mm dan 43,34 ± 4,32 mm. Panjang taji pada ayam Kampung jantan adalah 14,56 ± 8,02 mm.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan terhadap ayam Kampung semakin meningkat selain untuk memenuhi kebutuhan protein hewani juga disebabkan karena kepercayaan masyarakat terhadap daging ayam kampung yang lebih alami dibandingkan dengan ayam jenis lainnya. Akan tetapi peningkatan kebutuhan terhadap ayam kampung ini tidak diimbangi dengan jumlah populasi ayam kampung pada masing-masing daerah di Indonesia. Kurangnya perhatian terhadap ayam kampung merupakan salah satu faktor penyebab populasi ayam kampung semakin menurun.
Jika dibandingkan dengan ternak lain, ayam kampung memiliki kelebihan yang cukup banyak, ayam kampung pemeliharaannya mudah atau sederhana dan biaya yang dikeluarkan murah. Selain itu ayam kampung mempunyai daya tahan tubuh yang tinggi terhadap penyakit jika dibandingkan dengan ayam ras. Pemasaran ayam kampung cukup mudah, masyarakat Indonesia rata-rata lebih menyukai daging ayam Kampung dibanding daging ayam ras, harga jual ayam Kampung lebih tinggi dari pada ayam ras begitu juga harga telurnya
Keragaman ukuran tubuh hewan disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Ukuran tubuh ayam yang penting untuk diamati dan dapat dijadikan penentu karakteristik antara lain adalah bobot badan, panjang tarsometatarsus, panjang tibia, panjang femur, tinggi jengger, dan jarak tulang pubis untuk ayam betina.
Perumusan Masalah
Bagaimanakah ukuran dan keragaman karakter kuantitatif (panjang tarsometatarsus atau tulang kaki, panjang tibia, panjang femur, jarak tulang pubis, panjang sayap, panjang jari ketiga, bobot telur, panjang taji dan bobot badan) ayam Kampung di Kecamatan Jambi Timur.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data dasar mengenai penampilan kuantitatif berupa ukuran-ukuran tubuh ayam kampung. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang ayam kampung sehingga dapat digunakan untuk program pengembangan dan pemurnian plasma nutfah ayam kampung. Disamping itu juga diharapkan berguna untuk usaha peningkatan mutu genetic ayam kampung melalui seleksi dan perkawinan.
TINJAUAN PUSTAKA
Hutt (1949) berpendapat bahwa ayam-ayam piara berasal dari lebih dari satu spesies ayam hutan, tetapi ayam hutan merah merupakan moyang sebagian besar ayam piara yang ada sekarang. Selanjutnya Suharno (1996) menyatakan bahwa nenek moyang ayam adalah ayam hutan (genus Gallus) yang terdiri dari Gallus gallus atau Gallus bankiva, Gallus sonnerati, Gallus lafayetti dan Gallus varius.
Ayam lokal Indonesia merupakan hasil domestikasi ayam hutan merah (Gallus gallus) dan ayam hutan hijau (Gallus varius). Ayam hutan merah di Indonesia ada dua macam yaitu ayam hutan merah Sumatera (Gallus gallus gallus) dan ayam hutan merah Jawa (Gallus gallus javanicus). Hasil domestikasi ini secara umum disebut ayam buras. Ayam-ayam buras yang sekarang ini telah tersebar di berbagai wilayah Indonesia telah menjadi ayam-ayam buras dengan morfologi yang beraneka ragam (Mansjoer, Waluyo dan Priyono, 1993).
Martojo (1992) dan Warwick, Astuti, dan Hardjosubroto (1995) menjelaskan bahwa sifat kuantitatif dipengaruhi oleh sejumlah besar pasang gen, yang masing-masing dapat berperan secara aditif, dominant dan epistatik dan bersama-sama dengan pengaruh lingkungan (non-genetik), dan tidak dapat dibedakan dengan jelas.
Nozawa (1980) melaporkan bahwa keragaman ukuran tubuh hewan disebabkan oleh factor genetik dan lingkungan. Ukuran tubuh ayam yang menentukan karakteristik antara lain : bobot badan, panjang bagian-bagian kaki (tarsometatarsus), jarak tulang pubis (tulang panggul) untuk ayam betina, panjang tulang kering (tibia), panjang tulang paha (femur) dan tinggi jengger.
Rasyaf (1987) mengemukakan bahwa ada tiga sistem pemeliharaan ayam Kampung di Indonesia yaitu system ekstensif, semi intensif, dan intensif. Pemeliharaan secara intensif dilakukan dengan empat prinsif, yaitu kandang sehat, pakan teratur, vaksinasi berkala dan biosekuriti.
Soedirdjoatmodjo (1984) menyatakan bahwa pemeliharaan ayam kampung di Indonesia sebagian besar dilakukan secara tradisional atau ekstensif, dimana ayam dibiarkan lepas berkeliaran di halaman, makan dengan memanfaatkan sisa dapur dan apa yang ada dipekarangan rumah serta diberikan dedak dan sedikit butiran, sehingga produksinya masih rendah.
MATERI DAN METODA PENELITIAN
Materi Penelitian
Penelitian ini menggunakan sampel ayam kampung sebanyak 120 ekor yang terdiri dari 20 ekor jantan dan 100 ekor betina yang sudah dewasa kelamin. Pada ayam jantan yang diamati adalah ayam yang sudah dewasa kelamin dan mempunyai panjang taji, sedangkan pada ayam betina yang diamati adalah ayam yang sudah bertelur. Pengamatan dilakukan pada peternakan rakyat di Kecamatan Jambi Timur Kota Jambi.
Alat-alat yang digunakan untuk pengamatan penampilan kuantitatif ayam kampung yaitu timbangan dengan kapasitas lima kilogram (Da peng, Five Goats), pena, kertas dan alat ukur berupa jangka sorong (Rabone, superpolyamid, mm).
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Metoda Survey. Pengambilan sampel dilakukan dengan multistage random sampling, pengukuran dilakukan secara langsung, dimana ayam-ayam tersebut dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin jantan dan betina.
Peubah yang diukur dalam penampilan kuantitatif adalah panjang tarsometatarsus, panjang tibia, panjang femur, jarak tulang pubis, bobot badan, panjang sayap, panjang jari ketiga, bobot telur, panjang taji.
Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif dengan menghitung mean (rataan), simpangan baku dan ragam dari populasi sampel. Analisa dilakukan dengan mengelompokkan ayam kampung berdasarkan jenis kelamin jantan dan betina.
Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan di Kecamatan Jambi Timur Kota Jambi. Penelitian ini dilaksanakan mulai dari tanggal 2 Mei 2008 sampai 20 Mei 2008.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Panjang Tarsometatarsus
Rata-rata panjang tarsometatarsus pada ayam Kampung jantan dan betina yaitu 87,21 ± 7,62 mm dan 67,77 ± 7,56 mm.
2. Panjang Tibia
Rata-rata panjang tibia pada ayam Kampung jantan dan betina yaitu 128,79 ± 11,12 mm dan 104,27 ± 9,44 mm.
3. Panjang Femur
Rata-rata panjang femur pada ayam Kampung jantan dan betina adalah 106,32 ± 10,63 mm dan 91,67 ± 7,56 mm.
4. Jarak Tulang Pubis
Rata-rata jarak tulang pubis pada ayam Kampung betina yaitu 43,37 ± 4,36 mm.
5. Bobot Badan
Rata-rata bobot badan pada ayam Kampung jantan dan betina yaitu 1,73 ± 0,35 Kg dan 1,25 ± 0,21 Kg.
6. Bobot Telur
Rata-rata bobot telur pada ayam Kampung betina adalah 35,56 ± 5,27 gr.
7. Panjang Sayap
Rata-rata panjang sayap pada ayam Kampung jantan dan betina yaitu 166,56 ± 14,69 mm dan 148,26 ± 14,26 mm..
8. Panjang Jari Ketiga
Rata-rata panjang jari ketiga pada ayam Kampung jantan dan betina yaitu 51,14 ± 3,76 mm dan 43,34 ± 4,32 mm.
9. Panjang Taji
Rata-rata panjang taji pada ayam Kampung jantan yaitu 14,56 ± 8,02 mm.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Karakteristik kuantitatif ayam Kampung jantan dan betina masih bervariasi
2. Keragaman sifat kuantitatif pada ayam Kampung jantan dan betina yang paling tinggi adalah panjang sayap.
Saran
Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa karakteristik kuantitatif ayam Kampung masih beragam terutama pada panjang sayap. Untuk itu penulis menyarankan dalam program pemuliaan ayam Kampung salah satunya dapat dilakukan dengan program seleksi.
DAFTAR PUSTAKA
Hutt, F.B. 1949. Genetics of the Fowl. McGraw-Hill Book Company, Inc. New York, Toronto, London.
Mansjoer, S.S., S.P. Waluyo dan S.N. Priyono. 1993. Perkembangan berbagai jenis ayam asli Indonesia. Fakultas Peternakan IPB, Bogor.
Martojo, H. 1992. Peningkatan mutu genetik ternak. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB, Bogor.
Nozawa, K. 1980. Phylogenetic Studies on Native Domestic an Animal in East and Shoutheast Asia. Tropical Agriculture Research Center, Japan IV : 23-43.
Rasyaf, M. 1987. Beternak Ayam Kampung. Penerbit penebar swadaya, Jakarta.
Soedirdjoadmodjo. 1984. Beternak Ayam Kampung sebagai Usaha. Percetakan B.P.Karya Bani, Jakarta.
Suharno, B. 1996. Agribisnis Ayam Buras. Penebar Swadaya, Jakarta.
Warwick, E.J., J.M, Astuti dan W. Hardjosubroto. 1995. Pemuliaan Ternak Fakultas Peternakan. UGM, Yogyakarta.
Sumber artikel: Notosusanto (2008)

Studi Literatur: Aflatoksin Sebagai Penyebab Kanker Hati

Manusia dan hewan membutuhkan makanan untuk kelangsungan hidupnya. Namun, bila tidak aman dan sehat, makanan yang dikonsumsi justru dapat menjadi sumber penyakit. Bahan pangan manusia dan pakan hewan dapat dicemari oleh berbagai kontaminan sehingga menjadi tidak aman untuk dikonsumsi. Kondisi lingkungan, pemilihan bahan baku, proses pengolahan, proses penyimpanan, sampai proses penyajian mempengaruhi kualitas makanan. Salah satu kontaminan yang sering ditemukan adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang.

Iklim tropis yang dimiliki Indonesia dengan curah hujan, suhu dan kelembaban yang tinggi sangat mendukung pertumbuhan kapang penghasil mikotoksin. Kontaminasi mikotoksin tidak hanya menurunkan kualitas bahan pangan/pakan dan mempengaruhi nilai ekonomis, tetapi juga membahayakan kesehatan manusia dan hewan. Aflatoksin, salah satu jenis mikotoksin yang paling banyak ditemukan di negara beriklim tropis dapat menimbulkan kanker hati.
Mikotoksin
Mikotoksin adalah toksin yang dihasilkan oleh fungi atau kapang pada kondisi kelembaban dan temperatur tertentu. Mikotoksin dihasilkan oleh kapang aerob, dan terdapat pada makanan manusia maupun pakan hewan akibat infeksi kapang pada tumbuhan sumber makanan tersebut. Tidak semua kapang dapat menghasilkan mikotoksin, beberapa kapang juga hanya dapat menghasilkan mikotoksin pada kondisi kelembaban, stres, dan temperatur yang sesuai. Tidak ditemukannya mikotoksin pada suatu bahan, tidak menjamin tidak ada spora pada bahan tersebut. Mikotoksin sangat tahan terhadap perubahan temperatur dan pemrosesan makanan secara konvensional, seperti pemasakan dan pembekuan (Anonimus 2006a).
Efek negatif mikotoksin terhadap kesehatan bergantung pada konsentrasi, durasi paparan, dan sensitivitas individual. Paparan mikotoksin terjadi melalui makanan yang terkontaminasi, termasuk konsumsi daging hewan yang pakannya terkontaminasi mikotoksin. Efek mikotoksin terhadap kesehatan manusia dan hewan dapat bersifat akut maupun kronis. Selain itu, mikotoksin dapat bersifat karsinogenik, mutagenik, embriotoksik, estrogenik, dan imunosupresif (Anonimus 2006b).
Perbedaan sifat-sifat kimia, biologik dan toksikologik tiap mikotoksin menyebabkan adanya perbedaan efek toksik yang ditimbulkannya. Selain itu, Bahri et al (2002) dalam Maryam (2002) menyebutkan bahwa toksisitas ini juga ditentukan oleh: (1) dosis atau jumlah mikotoksin yang dikonsumsi; (2) rute pemaparan; (3) lamanya pemaparan; (4) spesies; (5) umur; (6) jenis kelamin; (7) status fisiologis, kesehatan dan gizi; dan (8) efek sinergis dari berbagai mikotoksin yang secara bersamaan terdapat pada bahan pangan.
Hingga saat ini telah dikenal 300 jenis mikotoksin (Cole & Cox 1981 dalam Maryam 2002), lima jenis diantaranya sangat berpotensi menyebabkan penyakit baik pada manusia maupun hewan, yaitu aflatoksin, okratoksin A, zearalenon, trikotesena (deoksinivalenol, toksin T2) dan fumonisin. Menurut Bhat dan Miller (1991) sekitar 25-50% komoditas pertanian tercemar kelima jenis mikotoksin tersebut. Penyakit yang disebabkan karena adanya pemaparan mikotoksin disebut mikotoksikosis.
Aflatoksin
Aflatoksin berasal dari singkatan Aspergillus flavus toxin. Toksin ini pertama kali diketahui berasal dari kapang Aspergillus flavus yang berhasil diisolasi pada tahun 1960. sedikitnya ada 13 tipe aflatoksin yang diproduksi di alam. Aflatoksin B1 diduga sebagai yang paling toksik, dan diproduksi oleh Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Aflatoksin G1 dan G2 diproduksi oleh A. parasiticus. Aspergillus flavus dan A. parasiticus ini tumbuh pada kisaran suhu yang jauh, yaitu berkisar dari 10-120C sampai 42-430C dengan suhu optimum 320-330C dan pH optimum 6 (Anonimus 2006c).
Di antara keempat jenis aflatoksin tersebut AFB1 memiliki efek toksik yang paling tinggi. Mikotoksin ini bersifat karsinogenik, hepatatoksik dan mutagenik sehingga menjadi perhatian badan kesehatan dunia (WHO) dan dikategorikan sebagai karsinogenik golongan 1A. Selain itu, aflatoksin juga bersifat immunosuppresif yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh.
Di Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin yang sering ditemukan pada produk-produk pertanian dan hasil olahan. Selain itu, residu aflatoksin dan metabolitnya juga ditemukan pada produk peternak seperti susu, telur, dan daging ayam. Sudjadi et al (1999) dalam Maryam (2002) melaporkan bahwa 80 diantara 81 orang pasien (66 orang pria dan 15 orang wanita) menderita kanker hati karena mengkonsumsi oncom, tempe, kacang goreng, bumbu kacang, kecap dan ikan asin. AFB1, AFG1, dan AFM1 terdeteksi pada contoh liver dari 58% pasien tersebut dengan konsentrasi diatas 400 µg/kg.
Toksikologi Aflatoksin
Aflatoksin tidak menyebabkan keracunan secara akut, namun secara kronis menimbulkan kelainan organ hati. Penyimpanan makanan dalam waktu lama dan cara yang tidak benar, menyebabkan kerusakan pada bahan makanan tersebut oleh mikroorganisme dan jamur yang dapat menghasilkan aflatoksin. Tidak ada spesies hewan, termasuk juga manusia, yang kebal terhadap efek toksik akut dari aflatoksin. Namun, manusia lebih mampu bertahan terhadap infeksi akut (Anonimus 2006c).
Kerentanan terhadap aflatoksin sangat besar pada anak-anak, bergantung pada kemampuan tiap individu untuk mendetoksifikasi aflatoksin melalui proses biokimiawi tubuh, dan juga dipengaruhi oleh jenis kelamin (kaitannya dengan konsentrasi hormone testosteron). Toksisitas aflatoksin juga bergantung pada faktor nutrisi.
Aflatoksikosis adalah istilah untuk kondisi keracunan akibat aflatoksin. Terdapat 2 bentuk aflatoksikosis, yaitu bentuk intoksikasi akut dan berat dan bentuk intoksikasi kronik subsimtomatik. Pada bentuk akut, terjadi kerusakan secara langsung pada organ hati, yang dapat diikuti oleh kematian. Banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa dosis dan durasi paparan aflatoksin sangat mempengaruhi akibat yang ditimbulkan, seperti (Williams et al 2004):
1.Paparan aflatoksin dalam dosis besar mengakibatkan infeksi akut dan kematian, akibat terjadinya sirosis hepatis.
Gejala terjadinya aflatoksikosis berat adalah nekrosa hemoragi organ hati, proliferasi duktus empedu, edema, dan lethargy. Manusia dewasa umumnya lebih toleran terhadap aflatoksin, dari kasus aflatoksikosis yang pernah dilaporkan, kematian banyak terjadi pada anak-anak.
2.Dosis subletal secara kronis menimbulkan gangguan nutrisi dan imunologis.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa aflatoksin B1 mampu menginduksi terjadinya aplasia timus, menurunkan jumlah dan fungsi limfosit-T, menekan aktivitas fagositik, dan menurunkan aktivitas komplemen. Selain itu, juga disebutkan bahwa kontaminasi makanan oleh aflatoksin menyebabkan supresi respon imun berperantara sel (cell mediated immune responses).
3.Efek kumulatif dari aflatoksin memiliki resiko terhadap terjadinya kanker.
Interaksi antara aflatoksin dengan virus Hepatitis B dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker hati.
Hepatocellular Carcinoma (HCC)
Hepatocellular carcinoma (HCC) atau kanker hati disebut juga primary liver cancer atau hepatoma. Hepatosit merupakan 80% jaringan hati, karena itu 90-95% kanker hati terjadi dari pertambahan sel-sel hati, disebut hepatocellulat cancer. Pada kondisi kanker hati, beberapa sel mulai tumbuh secara abnormal akibat kerusakan DNA. Kerusakan DNA menjadi penyebab terjadinya perubahan proses kimia, termasuk rasio pertumbuhan sel, yang salah satu akibatnya adalah pertumbuhan sel menjadi tidak terkontrol dan membentuk tumor (Fong 2006, Anonimus 2005).
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kerusakan DNA pada kanker hati yaitu (Anonimus 2005):
1.Virus Hepatitis B dan C
Di seluruh dunia, infeksi kronis dari virus hepatitis B dan C merupakan penyebab utama terjadinya kanker hati. Hepatitis B menyebabkan terjadinya kanker hati melalui material genetik virus yang masuk ke dalam material genetik sel hati normal sehingga mempengaruhi fungsi normal sel hati dan mengakibatkan kanker. Hepatitis B dapat ditularkan oleh wanita hamil kepada janin yang dikandung.
Hepatitis C dapat ditularkan melalui transfusi darah dan jarum suntik yang terkontaminasi. Pada beberapa kasus, hepatitis C dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Proses pengrusakan DNA oleh virus hepatitis C tidak diketahui secara pasti. Tidak seperti Hepatitis B, material genetik dari virus hepatitis C tidak masuk ke dalam material genetik sel hati normal. Diduga, virus Hepatitis C mempengaruhi aktivitas gen sehingga sel tidak bereproduksi dalam kecepatan yang normal. Selain itu, Hepatitis C menjadi penyebab terjadinya sirosis hepatik sehingga secara tidak langsung menjadi penyebab kanker hati.
2.Sirosis hepatik
Sirosis hepatik dapat timbul oleh kecanduan alkohol atau kondisi hemokromatosis herediter. Kondisi lain adalah seperti yang telah disebutkan, yaitu virus Hepatitis B dan C.
3.Paparan aflatoksin dalam waktu yang lama
Aflatoksin telah diimplikasikan sebagai penyebab kanker hati, yaitu melalui kemampuannya menimbulkan perubahan (mutasi) pada gen p53.
4.Bahan kimia vinyl chlorida dan thorium dioksida (Thorotrast)
Kedua bahan kimia tersebut dapat menyebabkan hepatik angiosarcoma.
5.Arsenik
6.Primary biliarycirrhosis
Peradangan duktus empedu pada hati meningkatkan resiko terjadinya cholangiocarcinoma, suatu tipe kanker hati primer.
7.Colitis ulceratif
Interaksi Aflatoksin dengan Virus Hepatitis B
Studi menunjukkan bahwa infeksi virus Hepatitis B yang terjadi bersamaan dengan paparan aflatoksin akan meningkatkan resiko terjadinya hepatocellular carcinoma (HCC). Adanya hubungan antara aflatoksin dengan terjadinya karsinoma hepatik primer telah ditemukan. Pada kasus karsinoma hepatik primer, diduga bahwa dalam jangka waktu tertentu penderita telah mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi kapang penghasil aflatoksin.
Keberadaan konjugat aflatoksin M1-DNA untuk waktu yang kama meningkatkan resiko terjadinya mutasi gen, misalnya gen p53, yaitu melalui gangguan fungsi gen penghambat tumor. Pada saat yang sama, infeksi virus Hepatitis B mempengaruhi kemampuan hepatosit untuk memetabolisme aflatoksin. Dengan demikian, efek interaksi ini menghasilkan kerusakan jauh lebih besar. Weiss (2000) menyebutkan, bila aflatoksin masuk ke dalam tubuh, zat tersebut akan dibawa ke hati untuk dimetabolisme oleh beberapa enzym. Tahap-tahap metabolisme tersebut yang kemudian mengaktivasi aflatoksin untuk berikatan dan merusak molekul DNA yang mengontrol pertumbuhan sel-sel hati, sehingga terjadi mutasi dan karsinogenesis.
Infeksi virus hepatitis B memiliki korelasi yang lebih besar untuk terjadinya kanker hati, dibandingkan dengan paparan aflatoksin. Namun, penelitian menunjukkan bahwa konsumsi aflatoksin melalui makanan yang terkontaminasi dapat menimbulkan supresi dari respon imun vitalethein modulator mediated, yang berpengaruh besar terhadap epidemi infeksi virus hepatitis B serta infeksi virus lainnya seperti hantavirus, ebola, tuberculosis, kanker, dan AIDS (Anonimus 2001).
Deteksi Aflatoksin pada Manusia
Terdapat dua teknik yang banyak dilakukan untuk mendeteksi kadar aflatoksin pada manusia (Anonimus 2006c, Henry et al. 2001). Metode pertama adalah dengan mengukur AFM1-guanin di dalam urin. Kehadiran zat tersebut menjadi indikasi terjadinya paparan aflatoksin selama 24 jam terakhir. Namun, kekurangan dari teknik ini adalah hanya memberikan hasil positif pada sekitar 30% dari individu yang positif terpapar aflatoksin. Hal tersebut disebabkan oleh waktu paruh dari AFM1-guanin. Kadar AFM1-guanin yang terukur dapat bervariasi setiap harinya dan dipengaruhi oleh diet, sehingga teknik ini tidak efektif untuk mendeteksi paparan aflatoksin yang kronis.
Metode kedua yaitu mengukur kadar AFB1-albumin dalam serum. Pendekatan ini lebih akurat, memberikan hasil positif sebesar 90% dari individu yang positif terpapar aflatoksin. Metode ini juga efektif untuk mendeteksi paparan aflatoksin yang kronis (untuk 2-3 bulan).
KESIMPULAN
Terdapat 2 bentuk aflatoksikosis, yaitu bentuk intoksikasi akut dan berat dan bentuk intoksikasi kronik subsimtomatik. Dosis dan durasi paparan aflatoksin, umur, jenis kelamin, serta faktor nutrisi sangat mempengaruhi akibat yang ditimbulkan oleh aflatoksin. Infeksi virus Hepatitis B yang terjadi bersamaan dengan paparan aflatoksin akan meningkatkan resiko terjadinya hepatocellular carcinoma (HCC), yaitu melalui gangguan fungsi gen penghambat tumor sehingga terjadi mutasi dan karsinogenesis.
Studi literature:
Disarikan dari tulisan Drh. Kusumandari Indah P
Anonimus. 2001. Aflatoxins and Carcinogenesis Through Alkylation of Vitaletheine Modulators. http://www.highfiber.com/~galenvtp/vtlafltx.htm. [1 Oktober 2006].
________. 2005. Liver Cancer. http://www.cnn.com/HEALTH/library/DS /00399.html. [1 Oktober 2006].
________. 2006a. Mycotoxin. http://en.wikipedia.org/wiki/Mycotoxin. [28 September 2006].
________. 2006b. Mycotoxins Test Kit. http://www.r-biopharmrhone.com /pro/myco.htm. [28 September 2006].
________. 2006c. Aflatoxin. http://en.wikipedia.org/wiki/Aflatoxin. [28 September 2006]
Bhat, R.V. and J.D.Miller. 1991. Mycotoxins and Food Supply. FAO, Food, Nutrition and Agriculture, 1: 27-31.
Cole, R.J., Cox, R.H (Eds.). 1981. Handbook of Toxic Fungal Metabolites. Academic press, New York, pp 1850.
Fong T. 2006. Hepatocellular Carcinoma (Liver Cancer). http://www. medicinenet.com/liver_cancer/page4.htm. [1 Oktober 2006].
Henry SH, Bolger PM, Troxell TC. 2001. The Cost of Mycotoxin Management to The World : Regulatory Standards, Risk, and Appropriate Public Health Strategies. http://www.apsnet.org/online/feature/mycotoxin/. [28 September 2006].
Maryam R. 2002. Mewaspadai Bahaya Kontaminasi Mikotoksin pada Makanan. http://shantybio.transdigit.com/?Biology. [2 Oktober 2006].
Sudjadi S, Machmud M, Damardjati DS, Hidayat A, Widowati S., Widiati A. 1999. Aflatoxin research in Indonesia. Elimination of Aflatoxin Contamiation in Peanut. Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra, pp.23-25.
Weiss EF. 2000. Thwarting Cancer before It Strikes. http://www.jhu. edu/~jhumag/0400web/48.html. [1 Oktober 2006].
William et al. 2004. Human Aflatoxicosis in Developing Countries: A Review of Toxicology, Exposure, Potential Health Consequences, and interventions. Am J Clin Nutr 2004: 80 : 1106-1122.