Kamis, 10 Januari 2013

Simbiosis Mutualisme Alami Sawit – Sapi

Terbukti mampu memangkas biaya pupuk, dongkrak produktivitas kebun sawit, jadi solusi pendapatan petani di periode replanting. Tentang sumber pakan, tak jadi soal
Di Riau, luas lahan perkebunan sawit tercatat 2,3 juta hektar. Bentangan kebun seluas itu kepemilikannya terbagi atas perkebunan rakyat 1,2 juta hektar, dan sisanya perkebunan non rakyat yang terdiri atas PBS (Perkebunan Besar Swasta ) dan PBN (Perkebunan Besar Nasional).
Dan di lingkungan para petani kebun sawit setempat, dikenal ungkapan Siska yang merupakan kepanjangan dari sistem integrasi sapi kelapa sawit. Sistem ini mulai banyak dikembangkan, antara lain untuk mengurangi ongkos pemupukan. Adalah Sumadi, asal Desa Perak Jaya, Kabupaten Siak – Riau, salah satu petani sawit yang menerapkan integrasi sapi-sawit sejak 2009 dengan awal populasi sebanyak 10 ekor sapi. ”Kotoran sapi dapat mengurangi belanja pupuk untuk kebun sawit sebesar Rp 4 juta rupiah per hektar,” ungkap pria pemilik lahan sawit 6,5 hektar dan kini sapinya berkembang jadi 23 ekor.
 Kata Sumadi, untuk pemupukan dengan pupuk kimia (anorganik) biasanya ia harus merogoh kocek sekitar Rp 12 juta per hektar kebun sawit, sedangkan dengan pupuk kotoran sapi (organik) ia cukup mengeluarkan Rp 8 juta perhektar. Sehingga ia membenarkan, usaha integarasi sapi-sawit dapat menambah pendapatan. “Pendapatan saya jadi tidak hanya dari hasil kebun sawit. Pupuk dari kotoran sapi bisa dijual Rp 2.500 per kg sementara urin Rp 5.000 per liternya,” imbuh dia.
Pria yang juga Ketua Kelompok Tani Karya Maju ini mengatakan, sementara ini pupuknya digunakan untuk kebutuhan kelompoknya sendiri.  “Kadang-kadang aja ada permintaan dari luar anggota,” ujar ketua kelompok dengan 10 anggota dan total populasi sapi 60 ekor.
Demikian pula cerita Samiranpetani kebun sawit asal Desa Rawang Kao,Kabupaten Siak yang Ketua Kelompok Karya Tunggal. Ia mengisahkan, dipicu jatuhnya harga sawit pada 2007, ia harus memutar otak untuk melakukan penghematan biaya operasional. Salah satunya adalah cara pemupukan yang irit. “Dengan sapi, ibaratnya beli pupuk sekali bisa untuk memupuk lahan selamanya,” ia menyebut argumentasi. Karena itu kemudian ia mengajak beberapa rekan dalam kelompoknya yang punya ternak, untuk memeliharanya dalam satu kandang dan dimanfaatkan kotorannya sebagai pupuk.
Samiran menyebut nilai lebih sistem integrasi sapi-sawit, feses dan urin sapinya dapat memangkas biaya pemupukan sampai 40 %. Ia menambahkan, sapi-sapinya digembalakan di pagi hari dan sore harinya dikandangkan.
Pabrik Pupuk
Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Riau, Askardiya R Patrianov, kepada TROBOS Livestock menjelaskan setiap harinya dari seekor sapi dengan berat hidup kurang lebih 350 kg dihasilkan sekitar 20 – 25 kg berat basah limbah padat, atau setara dengan 12,5 kg berat kering. Sementara produksi limbah cair adalah 10 - 11 liter per ekor per hari dengan effective collecting 5 – 7 per liter.
Terlebih bila dipadukan dengan pengolahan limbah menjadi biogas nilai lebihnya akan makin tinggi. Masih menurut pria yang akrab disapa Novi ini, tiap sapi dalam sehari mampu menghasilkan biogas 1m3 atau setara 0,6 liter minyak tanah. “Jika keuntungan limbah tersebut diatur dalam suatu bentuk sistem, otomatis subsidi pupuk akan masuk ke peternak,” ujarnya.
Ia pun punya pandangan yang bernada usul, subsidi pupuk bagus apabila diwujudkan untuk pembangunan kandang-kandang ternak atau dibelikan ternak yang selanjutnya akan menjadi “pabrik pupuk” di pedesaan. “Misalnya anggaran untuk pupuk Rp 18 triliun, sisihkan Rp 5 triliun dibelikan ternak,”usulnya.
Periode Replanting
Dalam budidaya kelapa sawit ada periode yang dinamakan dengan replanting, sebuah istilah untuk menggambarkan proses perombakan perkebunan untuk mengganti pohon yang sudah tidak produktif dengan yang baru. Populasi pohon sawit ditebang habis dan kemudian lahan ditanami bibit baru. Bisa dipastikan, petani plasma (kebun rakyat) di periode ini tidak mendapat penghasilan sampai pohon muda ini berbuah dan masuk masa produksi.
Karena itu, pilihan usaha integrasi sapi –sawit mampu jadi jalan keluar bagi petani, mengisi celah kurangnya pendapatan di masa paceklik tersebut. Suparno, petani kebun sawit asal Desa Banjar Seminai, Kabupaten Siak menuturkan, alasan inilah yang melatarbelakangi ia kini menganut sistem integrasi sapi – sawit. Pada 2016, menurut perhitungannya, kebun sawitnya akan memasuki masa replanting. Karena itu ia kini melakukan antisipasi menghadapi periode tersebut. ”Saya baru mulai memelihara sapi 6 bulan ini, dengan populasi 66 ekor,” ujar petani yang juga plasma PTPN V ini.
Senada, Rafmen, Head of CSR (Coorporate Social Responsibility) PT Asian Agri, menyebutkan alasan perusahaannya konsisten dalam mengembangkan integrasi sapi-sawit melalui CSR, adalah sebagai langkah antisipasi masa replanting.  “Itu sudah jelas,” tegasnya.
Dipaparkan Rafmen, kecambah kelapa sawit generasi terbaru yang dikembangkan perusahaan dan disebarkan kepada petani saat ini, mulai produksi di umur 30 bulan (2,5 tahun). Dijelaskannya, dalam periode menunggu 30 bulan tersebut, produksi sawit otomatis berhenti dan petani tidak ada pendapatan dari kelapa sawit sama sekali. Maka itu, kata Rafmen lagi, pengembangan program integrasi sapi - sawit dapat menjadi salah satu solusi di masa replanting.
Dongkrak Produktivitas Sawit
Tak hanya mendatangkan keuntungan dari limbah yang dimanfaatkan sebagai pupuk, integrasi sapi-sawit mampu mendongkrak produktivitas usaha budidaya kelapa sawit.  Sumadi menyebut angka sekitar 30 % kenaikan produktivitas sawit yang dia peroleh. Kalau biasa ia panen 3 ton sawit per bulan per kavling (2 hektar), sejak memanfaatkan pupuk produksi kandang  kelompok, angkanya jadi di kisaran 4 – 5 ton. “Panennya 10 hari sekali,” plasma dari PT Indosawit ini menambahkan keterangan.
 http://www.trobos.com/show_article.php?rid=4&aid=3614

Tidak ada komentar:

Posting Komentar