Pohon sagu merupakan nama umum untuk tumbuhan genus Metroxylon, berasal dari kata Yunani yang terdiri dari kata Metra berarti isi batang atau empulur dan Xylon berarti xylem (Flach 1977). Sagu termasuk tumbuhan monokotil dari famili Palmae, genus Metroxylon dan Ordo Arecales, berkembangbiak melalui tunas, akar atau biji sehingga tumbuh membentuk rumpun dan berkelompok (Louhenapessy et al. 2010).
Pada umumnya dikenal lima jenis sagu di Maluku, yakni : sagu Tuni (Metroxylon rumphii Mart), sagu Ihur (Metroxylon sylvester Mart), sagu Makanaru (Metroxylon longispinum Mart), sagu Duri Rotan (Metroxylon microcanthum Mart) merupakan sagu berduri dan satu jenis sagu yang tidak berduri yakni sagu Molat (Metroxylon sagu Rottb) (Louhenapessy 2006).
Taksiran
luas lahan sagu di Indonesia sangat bervariasi dari waktu ke waktu.
Luas lahan sagu di Indonesia adalah 1.398.000 ha, sedangkan di Maluku
(provinsi Maluku dan Maluku Utara) luas lahan sagu adalah 50.000 ha
(Balitbanghut 2005).
Menurut Alfons (2006), luas areal sagu
potensial di Maluku diperkirakan sebesar 31.360 ha. Jumlah pohon masak
tebang untuk kondisi hutan sagu di Indonesia adalah antara 8–36 pohon/ha
dimana untuk kondisi hutan sagu di Maluku rata-rata pohon sagu masak
tebang berbagai jenis sagu adalah 20 pohon/ha dan rataan produksi tiap
pohon adalah 220 kg, sehingga dalam luasan satu ha dapat diproduksi 4400
kg tepung sagu (Louhenapessy 1988). Dari jumlah produksi tepung sagu
diperoleh limbah padat berupa ampas sagu dalam jumlah yang besar dengan
perbandingan tepung sagu dan ampas sagu 1 : 6. Hal ini berarti potensi
ampas sagu tersedia cukup besar yaitu 1.320 kg per pohon yang terdiri
dari campuran ampas dan sisa pati yang tidak terekstraksi (Rumalatu
1981). Pada dasarnya proses ekstraksi pati adalah pemisahan pati dari
empulur batang sagu dengan bantuan air. Proses penghancuran empulur ini
di Maluku dapat dilakukan dengan dua cara, yakni penghancuran empulur
dengan menokok (menggunakan nani) dan dengan cara mekanik (penghancuran
empulur dengan menggunakan mesin).
Ampas sagu sebagai pakan
Nutrien
yang terkandung dalam ampas sagu umumnya sangat rendah karena rendahnya
protein kasar dan tingginya serat kasar. Walaupun kandungan nutrien
terutama protein kasar rendah berkisar antara 2,30-3,36%, pati dalam
ampas sagu masih cukup tinggi yaitu 52,98% (Ralahalu, 2012). Hal ini
memungkinkan ampas masih bermanfaat sebagai pakan ternak. Pemanfaatan
ampas sagu sebagai pakan ternak dari beberapa hasil penelitian dalam
ransum monogastrik (ayam dan babi) dapat mengurangi penggunaan bahan
makanan lain seperti jagung dan dedak padi disebabkan cukup tingginya
kadar pati dalam ampas sagu (Tabel 1). Selain itu untuk meningkatkan
kualitas ampas sagu dilakukan biofermentasi ampas sagu menggunakan
kapang Aspergillus niger.
Tabel 1. Penggunaan Ampas sagu Mengurangi Penggunaan Jagung dan Dedak padi
Pada Babi Fase Grower | Ampas Sagu Tanpa Fermentasi | |||
R0 | 7,5% | 15% | 22,5% | |
Jagung (kg) | 65,75 | 53,50 | 52,00 | 40,50 |
Dedak padi (kg) | 7,00 | 7,75 | 1,00 | 0,50 |
Pada Ayam kampungFase Starter | Ampas sagu Fermentasi (ASF) | |||
R0 | 5% | 10% | 15% | |
Dedak padi (kg) | 18,25 | 15,75 | 13,75 | 10,50 |
Ayam Kampung fase Grower | 17,5 | 16,00 | 14,00 | 12,00 |
Dedak padi (kg) |
Sumber: Ralahalu (1998)
Kondisi
seperti ini sangat menguntungkan peternak yang berada didaerah surplus
ampas sagu. Selain itu tingginya harga jagung dan dedak padi yang
menyebabkan bahan-bahan makanan ini tidak dapat diberikan kepada ternak
secara kontinyu. Tabita Naomi Ralahulu, Dosen Jurusan Peternakan, Faperta, Univ. Pattimura, Ambon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar