Jumat, 07 Juni 2013

Ampas Sagu yang Terbuang Masih Bermanfaat

article-imagePohon sagu merupakan nama umum untuk tumbuhan genus Metroxylon, berasal dari kata Yunani yang terdiri dari kata Metra berarti isi batang atau empulur dan Xylon berarti xylem (Flach 1977). Sagu termasuk tumbuhan monokotil dari famili Palmae, genus Metroxylon dan Ordo Arecales, berkembangbiak melalui tunas, akar atau biji sehingga tumbuh membentuk rumpun dan berkelompok (Louhenapessy et al. 2010).
Pada umumnya dikenal lima jenis sagu di Maluku, yakni : sagu Tuni (Metroxylon rumphii Mart), sagu Ihur (Metroxylon sylvester Mart), sagu Makanaru (Metroxylon longispinum Mart), sagu Duri Rotan (Metroxylon microcanthum Mart) merupakan sagu berduri dan satu jenis sagu yang tidak berduri yakni sagu Molat (Metroxylon sagu Rottb) (Louhenapessy 2006).
Taksiran luas lahan sagu di Indonesia sangat bervariasi dari waktu ke waktu. Luas lahan sagu di Indonesia adalah 1.398.000 ha, sedangkan di Maluku (provinsi Maluku dan Maluku Utara) luas lahan sagu adalah 50.000 ha (Balitbanghut 2005).
Menurut Alfons (2006), luas areal sagu potensial di Maluku diperkirakan sebesar 31.360 ha. Jumlah pohon masak tebang untuk kondisi hutan sagu di Indonesia adalah antara 8–36 pohon/ha dimana untuk kondisi hutan sagu di Maluku rata-rata pohon sagu masak tebang berbagai jenis sagu adalah 20 pohon/ha dan rataan produksi tiap pohon adalah 220 kg, sehingga dalam luasan satu ha dapat diproduksi 4400 kg tepung sagu (Louhenapessy 1988). Dari jumlah produksi tepung sagu diperoleh limbah padat berupa ampas sagu dalam jumlah yang besar dengan perbandingan tepung sagu dan ampas sagu 1 : 6. Hal ini berarti potensi ampas sagu tersedia cukup besar yaitu 1.320 kg per pohon yang terdiri dari campuran ampas dan sisa pati yang tidak terekstraksi (Rumalatu 1981). Pada dasarnya proses ekstraksi pati adalah pemisahan pati dari empulur batang sagu dengan bantuan air. Proses penghancuran empulur ini di Maluku dapat dilakukan dengan dua cara, yakni penghancuran empulur dengan menokok (menggunakan nani) dan dengan cara mekanik (penghancuran empulur dengan menggunakan mesin).
Ampas sagu sebagai pakan  
Nutrien yang terkandung dalam ampas sagu umumnya sangat rendah karena rendahnya protein kasar dan tingginya serat kasar.  Walaupun kandungan nutrien terutama protein kasar rendah berkisar antara 2,30-3,36%, pati dalam ampas sagu masih cukup tinggi yaitu 52,98% (Ralahalu, 2012). Hal ini memungkinkan ampas masih bermanfaat  sebagai pakan ternak. Pemanfaatan ampas sagu sebagai pakan ternak dari beberapa hasil penelitian dalam ransum monogastrik (ayam dan babi) dapat mengurangi penggunaan bahan makanan lain seperti jagung dan dedak padi disebabkan cukup tingginya kadar pati dalam ampas sagu (Tabel 1). Selain itu untuk meningkatkan kualitas ampas sagu dilakukan biofermentasi ampas sagu menggunakan kapang Aspergillus niger.
Tabel 1. Penggunaan Ampas sagu Mengurangi Penggunaan Jagung dan Dedak padi
Pada Babi Fase GrowerAmpas Sagu Tanpa Fermentasi
R07,5%15%22,5%
Jagung (kg)65,7553,5052,0040,50
Dedak padi (kg)7,007,751,000,50
Pada Ayam kampungFase StarterAmpas sagu Fermentasi (ASF)
R05%10%15%
Dedak padi (kg)18,2515,7513,7510,50
Ayam Kampung fase Grower17,516,0014,0012,00
Dedak padi (kg)
Sumber: Ralahalu (1998)
Kondisi seperti ini sangat menguntungkan peternak yang berada didaerah surplus ampas sagu. Selain itu tingginya harga jagung dan dedak padi yang menyebabkan bahan-bahan makanan ini tidak dapat diberikan kepada ternak secara kontinyu. Tabita Naomi Ralahulu, Dosen Jurusan Peternakan, Faperta, Univ. Pattimura, Ambon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar