Yulianto Nugroho1),
Trinil Susilawati2), dan Sri Wahjuningsih2)
1) Mahasiswa
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
2)
Dosen Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya
Jl. Veteran Malang 65145 Indonesia
______________________________________________________________________
ABSTRAK: Penelitian
bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan konsentrasi kuning telur dan
sari buah jambu biji pada pengencer CEP-2 terhadap kualitas semen sapi Limousin
selama penyimpanan pada suhu 3-50C. Metode penelitian dibagi menjadi
4 perlakuan: P0 = CEP-2 + KT 20%, P1 = CEP-2 + KT 15% + SBJB 5%, P2 = CEP-2 +
KT 10% + SBJB 10%, P3 = CEP-2 + KT 5% + SBJB 15%. Data dianalisis dengan
menggunakan Analisis Ragam Rancangan Acak Kelompok (Randomized Block Design) yang dikelompokkan berdasarkan waktu
penampungan semen. Selanjutnya apabila di antara perlakuan menunjukkan
perbedaan pengaruh yang nyata atau sangat nyata, akan dilakukan dengan Uji
Jarak Berganda Duncan. Pengencer dari sari buah jambu biji dan kuning telur,
selanjutnya diuji menggunakan Pearson’s Chi Square dengan nilai harapan
40%. Total spermatozoa motil diuji menggunakan Pearson’s Chi Square dengan
nilai harapan 40 juta spermatozoa motil per mililiter. Hasil penelitian untuk
rataan dan SD motilitas pada semen cair sapi limousin selama pendinginan hingga
24 jam yang terbaik pada P0 (41,5 ±
2,11%) dan berbeda sangat
nyata (P<0,01), kemudian diurutkan mulai dari yang tertinggi hingga terendah
oleh P2 (36,5 ± 4,89%), P1 (33 ± 5,63%), dan P3 (30 ± 4,41%). Analisis dengan
menggunakan Pearson’s Chi Square menunjukkan tidak terdapat perbedaan
yang nyata pada persentase motilitas P0 dan P2 setelah pendinginan selama 24
Jam. Viabilitas terbaik
hingga jam ke 24 pada P0 (70,43 ± 1,95%) dan berbeda sangat nyata (P<0,01) kemudian disusul oleh P2 (60,29 ±
4,36%), P1 (55,06 ±
5,09%), dan terendah pada P3
(49,25 ± 3,57%). Abnormalitas terbaik hingga jam ke 24 juga pada P0 (15,45 ±
1,80%) dan berbeda sangat
nyata (P<0,01) kemudian diurutkan mulai dari yang terendah hingga tertinggi
oleh P1 (16,33 ± 1,56%), P2 (16,49 ± 1,30%), dan tertinggi pada P3 (18,41 ± 1,66%). Total
spermatozoa motil menunjukkan bahwa perlakuan P0, P1, P2, dan P3 berbeda sangat
nyata (P<0,01) lebih tinggi dengan standar SNI yaitu 40 juta spermatozoa
motil per mililiter. Pengencer yang kualitasnya terbaik terdapat pada perlakuan
P0, kemudian disusul oleh perlakuan P2, P1, dan P3 dengan penambahan konsentrasi
kuning telur dan sari buah jambu biji setelah penyimpanan 24 jam.
ABSTRACT: This research was to determine the effect of the addition at various levels of egg yolk and guava juice in CEP-2 extender to the semen quality during preservation in 3-50C. Semen was divided into four groups (P0 = CEP-2 + KT 20%, P1 = CEP-2 + KT 15% + SBJB 5%, P2 = CEP-2 + KT 10% + SBJB 10%, P3 = CEP-2 + KT 5% + SBJB 15%). Data obtained on this research were analyzed of variant (anova) according to Randomized Block Design, if there was difference between the treatments then tested using Duncan’s Multiple Range Test. Pearson’s Chi Square analysis with expected value 40% was used to compare the motility percentage of the best various level of egg yolk and guava juice, and used to compare total motile sperm count with expected value 40 million cells/mL as described in SNI. The result showed that the liquid semen of limousin after 24h chilled preservation gave the best result in P0 (41,5 ± 2,11%) and was highly significant (P<0,01) to the others treatments, listed from the higher to the lower from P2, P1, and P3: 36,5 ± 4,89%; 33 ± 5,63%; and 30 ± 4,4% respectively. The viability after 24h preservation showed the best result in P0 (70,43 ± 1,95%) and was highly significant different (P<0,01) compared to P2, P1 and P3: 60,29 ± 4,36%; 55,06 ± 5,09%; and 49,25 ± 3,57% respectively. The abnormality after 24h preservation also gave the best result in P0 (15,45 ± 1,80%) and was highly significant different (P<0,01) compared to P1, P2 and P3(16,33 ± 1,56%; 16,49 ± 1,30%; and 18,41 ± 1,66%) respectively. Total motile sperm count was significantly higher (P<0,01) in all treatments (P0, P1, P2, and P3) compared to the standard criteria of SNI 40 million cells/mL. The best kind of extender seen by its quality belong to P0 which could maintain the sperm motility above 40% after 24h preservation.
Key Words: egg yolk, liquid semen, guava juice, chilled
preservation
PENDAHULUAN
Kebutuhan sapi
potong bakalan untuk menghasilkan daging bagi keperluan konsumen di Indonesia
semakin tinggi. Meningkatnya permintaan daging sapi setiap tahunnya menyebabkan
stok daging sapi nasional belum mampu mencukupi kebutuhan skala nasional. Upaya
mewujudkan peningkatan populasi dan produktivitas sapi lokal sebagai salah satu
plasma nutfah asli Indonesia adalah dengan diterapkan teknologi tepat guna di
bidang reproduksi yang mendukung seperti inseminasi buatan menggunakan sapi
yang mempunyai kualitas unggul diantaranya sapi Limousin (Suharyati dan
Hartono, 2011; Lubis, Dasrul, Thasmi, dan Akbar. 2013; Arifiantini, Yusuf, dan
Graha. 2005a; Komariah, Arifiantini, dan Nugraha. 2013; Ervandi, Susilawati,
dan Wahyuningsih. 2013; Indriani, Susilawati, dan Wahyuningsih. 2013).
Penyimpanan
semen pada suhu rendah (umumnya pada suhu 3-50C dan –1960C)
adalah terjadinya suatu proses yang disebut cekaman dingin (cold shock)
yang dapat merusak membran plasma sel dan berakibat kematian spermatozoa. Untuk
meminimalkan kerusakan sel spermatozoa akibat pengaruh buruk suhu rendah
tersebut, maka upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menambahkan berbagai
zat ke dalam pengencer semen (Rizal, 2006).
Pengencer
cauda epididymal plasma (CEP-2) adalah salah satu jenis pengencer yang
memiliki komposisi kimia sama dengan cauda
epididymal plasma dari sapi (Verberckmoes, Soom, Dewulf, and Pauw. 2004).
Pengencer CEP-2 mengandung sumber energi yang baik untuk spermatozoa berupa
fruktosa, beberapa mineral (seperti Na, Ca, K), pH, dan osmolaritas yang sama
dengan keadaan pada plasma kauda epididimis. Jenis krioprotektan ekstraseluler
yang sudah sangat lazim digunakan dalam proses pendinginan (preservasi) semen
adalah kuning telur karena mengandung lesitin dan lipoprotein. Kuning telur
merupakan krioprotektan ekstraseluler mengandung lipoprotein dan lesitin yang
melindungi membran sel spermatozoa untuk mencegah terjadinya cold shock selama pendinginan pada suhu
5°C. Jambu biji (Psidium guajava)
merupakan salah satu jenis buah-buahan yang mengandung zat antioksidan yang
diperlukan untuk kelangsungan hidup spermatozoa, dimana mengandung vitamin C
yang cukup tinggi sebesar 87 mg (U.S.Department of Agriculture, 2014). Vitamin
C mampu menangkap aktivitas radikal bebas dan mencegah terjadinya reaksi
rantai, sehingga dapat menghindari kerusakan peroksidatif yang berpengaruh
terhadap viabilitas dan fertilitas spermatozoa (Aslam, Dasrul, dan Rosmaidar.
2014; Lubis dkk., 2013).
Berdasarkan
uraian di atas maka penelitian ini dilakukan dengan menambahkan berbagai
konsentrasi kuning telur dan sari buah jambu biji pada pengencer CEP-2 selama
pendinginan pada suhu 3-50C. Sehingga diharapkan dapat diketahui
level optimum pemberian sari buah jambu biji untuk mencegah radikal bebas dari kerusakan
peroksidatif pada spermatozoa dan mampu mempertahankan kualitas semen cair
selama penyimpanan suhu 3-50C.
MATERI DAN METODE
Penelitian
Uji Kualitas Semen dilaksanakan pada tanggal 12 – 26 Mei 2014 di Laboratorium
Balai Besar Inseminasi Buatan Singosari Kabupaten Malang. Materi penelitian
yang digunakan yaitu semen segar yang berasal dari 4 ekor pejantan sapi
Limousin yang masing-masing bernama Bortoli, Dunlop, Audi, dan Minang berumur
antara 6 hingga 11 tahun yang dipelihara di Balai Besar Inseminasi Buatan
(BBIB) Singosari. Semen yang digunakan memiliki kriteria motilitas massa ++ dan
motilitas individu ≥ 55%, dengan frekuensi penampungan semen dua kali dalam
seminggu yakni pada hari Senin dan Kamis. Semen segar dikoleksi dengan
menggunakan teknik vagina buatan dan selanjutnya diuji kualitasnya meliputi
pemeriksaan makroskopis yakni volume, warna, bau, konsitensi, dan pH. Uji
mikroskopis meliputi motilitas, viabilitas, abnormalitas, dan konsentrasi. Sari
buah jambu biji dibuat dengan perbandingan buah jambu biji dan pelarut Aquadest sebesar 1 : 2. Kuning telur
yang digunakan adalah kuning telur yang berasal dari ayam ras petelur (layer) berumur kurang dari 3 hari yang
diperoleh dari peternak ayam petelur di Dusun Manggisari, Kecamatan
Karangploso, Kabupaten Malang. Metode Penelitian menggunakan Rancangan Acak
Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan 10 kali ulangan yaitu P0 = CEP-2 + Kuning
Telur 20%; P1 = CEP-2 + Kuning Telur 15% + Sari Buah Jambu Biji 5%; P2 = CEP-2
+ Kuning Telur 10% + Sari Buah Jambu Biji 10%; P3 = CEP-2 + Kuning Telur 5% +
Sari Buah Jambu Biji 15%.
Data
yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan Analisis Ragam dalam
Rancangan Acak Kelompok (Randomized Block
Design) yang dikelompokkan berdasarkan waktu
penampungan semen. Selanjutnya apabila di antara perlakuan menunjukkan
perbedaan pengaruh yang nyata atau sangat nyata, akan dilakukan dengan Uji
Jarak Berganda Duncan (Duncan’s Multiple
Range Test). Perlakuan pengencer terbaik antara (CEP-2 + Kuning Telur) dan
(CEP-2 + Kuning Telur + Sari Buah Jambu Biji) kemudian diuji menggunakan Pearson’s
Chi Square dengan nilai harapan 40%. Total spermatozoa motil dihitung
dengan nilai harapan 40 juta/ml sesuai dengan SNI.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Evaluasi
Kualitas Semen Segar
Nilai rataan
volume semen segar yang ditampung dari 4 pejantan sapi Limousin (Tabel 1) dalam
penelitian adalah 6,08 ± 1.27 ml dengan kisaran 4,6 - 8 ml.
Volume semen yang digunakan untuk penelitian termasuk dalam kategori normal.
Sesuai dengan pendapat Garner and Hafez (2008) yang melaporkan bahwa volume
semen sapi bervariasi setiap penampungan antara 1-15 mililiter atau 5-8
mililiter per ejakulasi. Dengan melihat pada skala tabung yang digunakan untuk
menampung semen, maka dapat ditentukan volume semen yang diejakulasikan. Warna
semen yang tampak dalam penelitian ini adalah berwarna putih susu. Umumnya
semen sapi berwarna putih kekuningan atau hampir seputih susu. Hal ini karena
adanya riboflavin di dalam semen (Susilawati, 2013).
Tabel
1. Kondisi umum dan evaluasi semen segar sapi Limousin
Parameter
|
Rataan
± SD
|
Standart
|
Kondisi
Umum
|
||
Umur (th)
|
7,6 ± 2,3
|
-
|
Bobot Badan (kg)
|
984 ± 112,27
|
-
|
Makroskopis
|
||
Volume per ejakulat (ml)
|
6,08
± 1,27
|
6-15
ml
|
Warna
|
Putih Susu
|
Putih susu
|
pH
|
6,4
± 0,14
|
6,4-6,8
|
Konsistensi
|
Sedang
|
-
|
Mikroskopis
|
||
Motilitas Massa
|
++
|
++
|
Motilitas Individu (%)
|
58,5
± 2,24
|
70%
|
Viabilitas (%)
|
83,09
± 2,22
|
-
|
Abnormalitas (%)
|
10,40
± 0,73
|
-
|
Konsentrasi (Juta/ml)
|
1197,20
± 335,25
|
1000
juta/ml
|
Penilaian
kualitas mikroskopis semen segar terdiri dari motilitas massa, motilitas
individu, viabilitas, abnormalitas, dan konsentrasi. Rataan motilitas massa dan
motilitas individu yang didapat dari keempat pejantan setelah penampungan
adalah masing-masing (++; 58,5 ± 2,24%).
Persentase motilitas semen segar di bawah 40% menunjukkan kualitas semen yang
kurang baik dan berhubungan dengan infertilitas karena persentase spermatozoa
yang motil dalam keadaan normal adalah 70 – 90 motil (Susilawati, 2013). Banyak
faktor yang mempengaruhi perbedaan nilai motilitas spermatozoa diantaranya
umur, bangsa, kematangan spermatozoa, dan kualitas plasma spermatozoa (Komariah
dkk., 2013). Susilawati (2011b)
menyebutkan bahwa semen segar yang mempunyai persentase motilitas di atas 70%
lebih tahan hidup dibandingkan bila lebih rendah dari 70%. Rataan konsentrasi
semen segar 1197,20 ± 335,25 juta/ml sudah sesuai dengan standar yaitu di atas 1000
juta/ml. Dilaporkan oleh (Susilawati, 2013; Garner and Hafez, 2008) bahwa
konsentrasi semen sapi bervariasi dari 1000-1800 juta spermatozoa tiap
mililiter atau 800-2000 juta spermatozoa tiap mililiter.
Viabilitas spermatozoa pada semen
segar adalah 83,09 ± 2,22%. Viabilitas semen tersebut termasuk kategori sangat baik
karena persentase viabilitas di atas 70% atau persentase viabilitas harus di
atas persentase motilitas. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Arifiantini
dkk (2005a) bahwa persentase viabilitas spermatozoa pada semen segar
yang diperoleh adalah 83,38 – 88,94%, ini artinya persentase viabilitas
spermatozoa pada penelitian masih tergolong baik. Rataan nilai abnormalitas
semen segar sapi Limousin pada penelitian ini masih tergolong baik (10,40 ± 0,73%)
dan memenuhi kriteria semen segar yang baik. Semen yang berkualitas baik
memiliki 5-15% spermatozoa abnormal (Campbell et al., 2003 dalam Arifiantini dkk., 2005a), Sedangkan
Garner and Hafez (2008) menyatakan bahwa abnormalitas spermatozoa tidak boleh
melebihi 20%.
Persentase
Motilitas Spermatozoa Selama Pendinginan 3-50C
Nilai rataan dan SD motilitas perlakuan P0 (Tabel 2)
selama pendinginan hingga jam ke 24 menunjukkan hasil di atas standar yang
ditetapkan oleh SNI untuk inseminasi buatan yakni sebesar 41,5
± 2,11%. Disitasi dari
penelitian Ducha dkk (2012) yang menyebutkan bahwa persentase motilitas pada pengencer
CEP-2 dengan kuning telur 20% mampu
mempertahankan persentase motilitas spermatozoa sapi Limousin yang terbaik
selama penyimpanan pada suhu 3-50C.
Hasil penelitian ini sama dengan penelitian (Graham
and Foote, 1987 dalam Ducha, 2012) yang menyebutkan bahwa motilitas
terbaik spermatozoa sapi selama penyimpanan diperoleh dari spermatozoa yang
disimpan dalam pengencer yang mengandung kuning telur 20%, sedangkan
perlakuan P1, P2, dan P3 dengan penambahan konsentrasi kuning telur dan sari
buah jambu biji menunjukkan persentase motilitas jam ke 24 masing-masing
sebesar (33 ± 5,63%;
36,5 ± 4,89%;
30 ± 4,41%). Namun penelitian
Susilawati (2011a) menyebutkan bahwa sampel sapi
yang di inseminasikan dengan semen beku PTM 20-30%, 30-40% dan > 40% pada
pengamatan NRR (0-30 hari), (30-60 hari), dan (60-90 hari) menunjukkan angka
kebuntingan yang tinggi yakni berkisar antara 90-100%. Ini artinya bahwa semen
yang memiliki PTM (Post Thawing Motility)
dibawah 40% masih layak digunakan untuk inseminasi buatan.
Tabel 2. Rataan
± SD persentase motilitas pada berbagai perlakuan pengencer selama pendinginan
Perlakuan
|
Jam ke 0
|
Jam ke 1
|
Jam ke 2
|
Jam ke 3
|
Jam ke 24
|
P0
|
57,75 ± 2,19a
|
56
± 1,75a
|
54,5 ± 1,97a
|
51,75 ± 3,13a
|
41,5 ± 2,11a
|
P1
|
57 ± 1,58a
|
54,75 ± 1,42a
|
52,75 ± 1,84 ab
|
51 ± 3,16a
|
33 ± 5,63c
|
P2
|
57,25 ± 1,84a
|
56 ± 1,29a
|
54,75 ± 1,42a
|
52,5 ± 2,89a
|
36,5 ± 4,89b
|
P3
|
55 ± 1,67b
|
53 ± 2,84b
|
51,25 ± 4,45b
|
47,75 ± 5,06b
|
30 ± 4,41d
|
Keterangan:
Superskrip
huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata
(P<0,01)
Hasil
analisis statistik pada penelitian memperlihatkan bahwa perlakuan P0 secara
signifikan (P<0.01) berbeda sangat nyata dan
mampu
mempertahankan persentase motilitas di atas 40% hingga jam ke-24.
Perlakuan P1, P2, dan P3 dengan penambahan konsentrasi sari
buah jambu biji dan kuning telur pada jam ke-24 sudah turun di bawah 40%,
menandakan bahwa perlakuan P0 masih jauh lebih baik jika dibandingkan dengan
perlakuan P1, P2, dan P3. Sedangkan hasil penelitian terdahulu yang menambahkan
zat antioksidan pada berbagai pengencer justru mampu bertahan hingga hari ke 4
dan hari ke 5 dengan persentase motilitas masih di atas 40%.
Proses
cooling, freezing, dan thawing sangat mempengaruhi
stabilitas dan fungsi-fungsi hidup sel membran. Penurunan kualitas spermatozoa
diatas terjadi karena adanya kerusakan struktur membran selama pendinginan
sehingga proses metabolisme spermatozoa terganggu (Susilawati, 2000). Penurunan
persentase motilitas spermatozoa setelah pendinginan disebabkan oleh semakin
sedikitnya spermatozoa yang memiliki cadangan energi yang cukup untuk bergerak,
karena spermatozoa yang telah mengalami cekaman dingin (suhu rendah) dapat
mengalami destabilisasi membran (Sugiarti, 2004 dalam Lubis dkk., 2013).
Persentase
Viabilitas Spermatozoa Selama Pendinginan 3-50C
Perlakuan P0
(Tabel 3) memiliki daya preservasi spermatozoa yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan perlakuan lain dan pengamatan viabilitas hingga jam ke 24 menunjukkan
nilai viabilitas sama dengan 70%. Perlakuan P1, P2, dan P3 persentase
viabilitasnya juga masih dalam kisaran normal yakni pada P1 masih tergolong di
atas 50%, P2 tergolong sama dengan 60%, dan P3 tergolong di atas 45%. Pada jam
ke 24 persentase viabilitas menurun drastis pada berbagai perlakuan dengan
penambahan konsentrasi kuning telur dan sari buah jambu biji, sedangkan pada
perlakuan P0 masih mampu mempertahankan persentase viabilitas pada kisaran 70%
hingga jam ke 24 selama pendinginan.
Tabel 3. Rataan
± SD persentase viabilitas pada berbagai perlakuan pengencer selama pendinginan
Perlakuan
|
Jam ke 0
|
Jam ke 1
|
Jam ke 2
|
Jam ke 3
|
Jam ke 24
|
P0
|
80,44 ± 1,66a
|
80,01 ± 1,56a
|
79,29 ± 1,76a
|
78,29 ± 1,48a
|
70,43 ± 1,95a
|
P1
|
78,54± 1,98b
|
77,51 ± 2,11b
|
76,56 ± 2,06 bc
|
76,28 ± 1,64b
|
55,06 ± 5,09c
|
P2
|
79,56 ± 2,36a
|
79,06 ± 1,89a
|
77,89 ± 2,11b
|
76,81 ± 1,85b
|
60,29 ± 4,36b
|
P3
|
77,19 ± 2,13c
|
76,33 ± 2,54b
|
75,21 ± 2,06c
|
73,98 ± 2,17c
|
49,25 ± 3,57d
|
Keterangan:
Superskrip huruf yang berbeda
pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01).
Nilai rataan dan
SD viabilitas mulai jam ke 0 hingga jam ke 24 menunjukkan bahwa perlakuan P0
(CEP-2 + KT 20%) mampu mempertahankan daya hidup spematozoa pada kisaran 70%
sebesar (70,43 ± 1,95%) dan berpengaruh
berbeda sangat nyata (P<0.01) dengan perlakuan P1 (CEP-2 + KT 15% + SBJB
5%), P2 (CEP-2 + KT 10% + SBJB 10%), P3 (CEP-2 + KT 5% + SBJB 15%) yang sudah
turun di bawah 70%. Persentase viabilitas mulai dari yang tertinggi hingga
terendah ditunjukkan pada perlakuan P0 kemudian disusul P2, P1, dan P3.
Persentase viabilitas selalu mengalami penurunan seiring dengan lama
penyimpanan pada suhu 3-50C. Pada jam ke 0 dan jam ke 1 persentase
viabilitas perlakuan P0 menunjukkan hasil yang baik dengan kisaran 80% yakni
masing-masing (80,44 ± 1,66%; 80,01 ± 1,56%) jika dibandingkan dengan perlakuan (P1,
P2, P3) pada berbagai penambahan konsentrasi kuning telur dan sari buah jambu
biji. Namun perlakuan P2 (CEP-2 + KT 10% + SBJB 10%) persentase viabilitasnya
sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan P1 dan P3. Bila dilihat dari
analisis statistik bahwa perlakuan P2 pada jam ke 0 dan jam ke 1 persentase
viabilitasnya hampir mendekati 80% yakni masing-masing (79,56 ± 2,36%; 79,06 ± 1,89%).
Kualitas dari pengencer CEP-2 yang ditambahkan
dengan konsentrasi kuning telur dan sari buah jambu biji dalam mempertahankan
daya preservasi spermatozoa belum memberikan pengaruh yang baik terhadap
viabilitas.
Namun penelitian terdahulu menyebutkan
bahwa penambahan zat antioksidan pada pengencer memiliki manfaat yang
cukup baik diantaranya mencegah aktivitas radikal bebas terhadap kerusakan
membran sel spermatozoa yang berpengaruh terhadap viabilitas dan fertilitas
spermatozoa, berperan sebagai sumber energi untuk mempertahankan motilitas
spermatozoa, di samping itu juga untuk memperbaiki komposisi dan kondisi
fisiologis dari pengencer tersebut (Aslam dkk., 2014; Lubis dkk., 2013).
Penurunan
viabilitas spermatozoa selama penyimpanan disebabkan oleh meningkatnya jumlah
spermatozoa rusak dan mati akibat kekurangan energi (Solihati, Idi, Rasad,
Rizal, dan Fitriati. 2008). Pareira et al. (2010) menyatakan bahwa
viabilitas akan menurun akibat suhu dingin selama penyimpanan, ketersediaan
energi dalam pengencer semakin berkurang, dan menurunnya pH karena terjadi
peningkatan asam laktat hasil metabolisme spermatozoa, adanya kerusakan membran
plasma dan akrosom. Tingkat kandungan asam laktat berkaitan dengan daya gerak
spermatozoa dan daya tahan hidup spermatozoa (Tambing, Toelihere, Yusuf, dan
Sutama. 2001).
Persentase Abnormalitas Spermatozoa
Selama Pendinginan 3-50C
Perlakuan P0
(Tabel 4) menunjukkan persentase abnormalitas paling rendah (terbaik) mulai jam
ke 0 hingga jam ke 24. Hal ini dikarenakan kondisi pengencer CEP-2 dan 20% KT
mampu melindungi membran spermatozoa selama pendinginan sehingga meminimalisir
abnormalitas. Kuning telur yang ditambahkan dalam pengencer CEP-2 mengandung lesitin
dan lipoprotein yang dapat berikatan dengan membran plasma. (Selamet Aku,
Sandiah, Sadsoetubun, Amin, dan Herdis. 2007).
Spermatozoa
abnormal meningkat selama proses pendinginan dan pembekuan disebabkan oleh
cekaman dingin/cold shock, ketidakseimbangan
tekanan osmotik akibat dari proses metabolisme yang terus berlangsung selama
penyimpanan suhu 3-50C (Solihati dkk., 2008). Selain itu pembuatan
preparat ulas yang kurang tepat juga menyebabkan kerusakan pada spermatozoa
seperti ekor dan kepala putus. Morfologi
abnormalitas pada spermatozoa berhubungan dengan fertilitas. Dengan demikian
bahwa pengaruh tingginya abnormalitas berasal dari prossesing penyimpanan dan
kondisi fisiologis dari pengencer tersebut, selain itu juga dari faktor
pejantan saat penampungan yang berhubungan dengan fertilitas ternak itu sendiri
(Susilawati, 2013).
Tabel 4. Rataan
± SD persentase abnormalitas pada berbagai perlakuan pengencer selama
pendinginan
Perlakuan
|
Jam ke 0
|
Jam ke 1
|
Jam ke 2
|
Jam ke 3
|
Jam ke 24
|
P0
|
11,98
± 0,91a
|
12,14 ± 1,08a
|
12,41 ± 1,25a
|
12,8 ± 1,10a
|
15,45 ± 1,80a
|
P1
|
13,84± 0,75b
|
14,14 ± 0,94b
|
14,4 ± 0,94b
|
14,7 ± 1,20b
|
16,33 ± 1,56a
|
P2
|
13,29 ± 0,85b
|
13,58 ± 0,85b
|
13,83 ± 1,14b
|
14,25 ± 1,01b
|
16,49 ± 1,30a
|
P3
|
15,33 ± 0,57c
|
15,65 ± 0,70c
|
15,93 ± 0,89c
|
16,59 ± 1,34c
|
18,41 ± 1,66b
|
Keterangan:
Superskrip
huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata
(P<0,01).
Rataan dan SD abnormalitas menunjukkan
bahwa perlakuan P0 (CEP-2
+ KT 20%) memberikan hasil terbaik mulai jam ke 0 hingga jam ke 24
masing-masing (11,98 ± 0,91%; 12,14 ± 1,08%; 12,41 ± 1,25%; 12,8 ± 1,10%; 15,45 ± 1,80%). Rataan tersebut masih berada dalam
kisaran normal. Diperkuat oleh (Campbell et
al., 2003 dalam Arifiantini dkk., 2005a) semen yang berkualitas baik memiliki
5-15% spermatozoa abnormal, tetapi berbeda dengan pendapat Garner and Hafez
(2008) yang menyebutkan bahwa abnormalitas spermatozoa tidak boleh melebihi
20%. Apabila dilihat dari keseluruhan perlakuan P0, P1, P2, dan P3 bahwa
persentase abnormalitas dalam penelitian masih tergolong baik di bawah 20%
hingga jam ke 24, namun rataan terbaik diperoleh pada perlakuan P0. Diperkuat
kembali oleh (Hafez, 2000 dalam Alawiyah 2006) selama
abnormalitas spermatozoa belum mencapai 20% dan tidak lebih dari itu, maka
semen tersebut masih layak untuk diproses selanjutnya. Angka morfologi abnormal
8–10% tidak memberi pengaruh yang cukup berarti bagi fertilitas, tetapi jika
abnormalitas lebih dari 25% dari satu ejakulat maka penurunan fertilitas tidak
dapat diantisipasi (Parera dkk., 2009).
Total
Spermatozoa Motil
Spermatozoa
dikatakan motil apabila spermatozoa tersebut bergerak ke depan (progressive motility), sedangkan
spermatozoa dengan gerakan melingkar (non
progressive motility) bukan termasuk motil. Motilitas atau daya gerak
progresif spermatozoa mempunyai peranan yang penting untuk keberhasilan
fertilisasi (Arifiantini dkk., 2005b). Rataan hasil penghitungan
total spermatozoa motil pada berbagai perlakuan pada pendinginan jam ke 24
seperti pada tabel 5.
Tabel 5 menunjukkan bahwa total spermatozoa
motil untuk keseluruhan perlakuan baik pada P0, P1, P2, dan P3 memiliki nilai
rataan yang lebih tinggi dari nilai harapan 40 juta/ml spermatozoa motil. Nilai
harapan 40 juta spermatozoa motil per mililiter mengacu pada standar yang telah
ditetapkan oleh SNI untuk inseminasi buatan yakni konsentrasi spermatozoa 100
juta/ml dengan motilitas individu 40% (BSN, 2005).
Tabel 5. Total motil spermatozoa pada pendinginan jam ke 24
Perlakuan
|
Total Spermatozoa
Motil (juta/ml)
|
SD
|
P0
|
81,24
|
16,24
|
P1
|
60,15
|
16,05
|
P2
|
70,86
|
17,18
|
P3
|
55,51
|
14,54
|
Nilai Harapan
|
40,00
|
-
|
Analisis statistik menggunakan Pearson’s Chi Square dengan nilai
harapan 40 juta spermatozoa motil menunjukkan perbedaan yang sangat nyata
(P<0.01) lebih tinggi pada semua perlakuan selama pendinginan 24 jam. Perlakuan P0 memiliki total spermatozoa motil tertinggi jika dibandingkan
dengan perlakuan lain yakni sebesar (81,24 ± 16,24
juta/ml) kemudian disusul oleh P2, P1, dan P3 yang masing-masing sebesar (70,86
± 17,18 juta/ml; 60,15 ± 16,05
juta/ml; 55,51 ± 14,54 juta/ml). Penggunaan
konsentrasi kuning telur dan sari buah jambu biji selama
pendinginan 24 jam dapat diaplikasikan untuk inseminasi buatan karena nilai
harapan
menunjukkan hasil yang lebih tinggi dari standar
yang ditetapkan SNI yaitu 40
juta/ml spermatozoa motil.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Pengencer yang kualitasnya terbaik terdapat pada perlakuan P0, kemudian
disusul oleh perlakuan P2, P1, dan P3 dengan penambahan konsentrasi kuning
telur dan sari buah jambu biji.
Total spermatozoa motil menunjukkan bahwa keseluruhan perlakuan pada P0, P1,
P2, dan P3 memiliki nilai harapan motilitas individu di atas 40% yang telah
ditetapkan SNI, sehingga semen cair ini dapat diaplikasikan untuk inseminasi
buatan.
Saran untuk penelitian perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
mengetahui level optimum pada penambahan konsentrasi kuning telur dan sari buah
jambu biji dalam pengencer CEP-2 untuk mempertahankan kualitas semen cair
selama lebih dari 24 jam.
Penelitian ini menggunakan semen afkir dengan motilitas ≥ 55%, sehingga perlu penelitian lebih lanjut dengan menggunakan semen segar
yang persentase motilitas awalnya harus sesuai dengan standar ≥ 70%.
DAFTAR PUSTAKA
Alawiyah, D., dan M. Hartono. 2006. Pengaruh
penambahan vitamin E dalam bahan pengencer sitrat kuning telur terhadap
kualitas semen beku kambing boer. J.Indon.Trop.Anim.Agric.
31(1): 8-14.
Aku, A.S., N.
Sandiah, P.D. Sadsoetubun, M.R. Amin, dan Herdis. 2007. Manfaat Lesitin Nabati pada Preservasi dan Kriopreservasi Semen: Suatu
Kajian Pustaka. Animal Production 9(1): 49 – 52, ISSN: 1411-2027.
Arifiantini, L.,
T.L. Yusuf, dan N. Graha. 2005a. Longivitas dan recovery rate pasca
thawing semen beku sapi Friesian Holstein menggunakan bahan pengencer yang
berbeda. Buletin Peternakan 29(2): 57-61, ISSN: 0126-4400.
Arifiantini, L.,
T.L. Yusuf, dan Yanti D. 2005b. Kaji banding kualitas semen beku
sapi Friesian Holstein menggunakan pengencer dari berbagai balai inseminasi
buatan di Indonesia. Animal Production 7(3): 168-176.
Aslam, H.A., Dasrul, dan
Rosmaidar. 2014. Pengaruh penambahan vitamin c dalam pengencer Andromed
terhadap persentase motilitas dan membran plasma utuh spermatozoa sapi Aceh
setelah pembekuan. Jurnal Medika Veterinaria 8(1): 20-26, ISSN: 0853-1943.
Badan
Standardisasi Nasional. 2005. Semen Beku Sapi. SNI 01-4869.1-2005. BSN.
Jakarta.
Campbell, J.R.,
K.L. Campbell, and M.D. Kenealy. 2003. Artificial Insemination. In: Animal
Sciences 4th ed. New York, Mc Graw-Hill.
Ducha, N., T.
Susilawati, Aulanni’am, dan S. Wahyuningsih. 2013. Motilitas dan viabilitas
spermatozoa sapi Limousin selama penyimpanan pada refrigerator dalam pengencer
CEP-2 dengan suplementasi kuning telur. Jurnal Kedokteran Hewan 7(1): 5 – 8,
ISSN: 1978-225X.
Ervandi, M., T.
Susilawati, dan S. Wahyuningsih. 2013. Pengaruh pengencer yang berbeda terhadap
kualitas spermatozoa sapi hasil sexing dengan gradien albumin (putih telur).
JITV 18(3): 177-184.
Garner, D.L.,
and E.S.E. Hafez. 2008. Spermatozoa and Plasma Semen.In Reproduction in Farm Animal. Hafez E.S.E. and B. Hafez (eds.). 7th
ed. Lippincott & Williams. Baltimore, Marryland, USA: 82-95.
Indriani, T.
Susilawati, dan S. Wahyuningsih. 2013. Daya
hidup spermatozoa sapi Limousin yang dipreservasi dengan metode water jacket
dan free water jacket. Jurnal Veteriner 14(3): 379 – 386, ISSN:
1411-8327.
Komariah, L.
Arifiantini, dan F.W. Nugraha. 2013. Kaji banding kualitas spermatozoa sapi
Simmental, Limousin, dan Friesian Holstein terhadap proses pembekuan. Buletin
Peternakan 37(3): 143-147, ISSN: 0126-4400.
Lubis, T.M.,
Dasrul, C.N. Thasmi, dan T. Akbar. 2013. Efektivitas penambahan vitamin c dalam
pengencer susu skim kuning telur terhadap kualitas spermatozoa kambing Boer
setelah penyimpanan dingin. Jurnal S. Pertanian 3(1): 347-361 ISSN: 2088- 0111.
Pareira,
G.R., E.G. Becker, L.C. Siquiera, R. Ferreira, C.K. Severo, V.S. Truzzi, J.F.C.
Oliveira, and P.B.D. Goncalves. 2010. Assesment of Bovine Spermatozoa Viability
Using Different Cooling Protocols Prior to Cryopreservation. Italian Journal of Animal Science 9:
403- 407.
Parera, F., Z. Prihatiny,
D.F. Souhoka, dan M. Rizal. 2009. Pemanfaatan sari wortel sebagai pengencer
alternatif spermatozoa epididimis sapi Bali. J. Indon.Trop.Anim. Agric. 34(1):
50-56.
Rizal, M. 2006. Pengaruh penambahan
laktosa di dalam pengencer tris terhadap kualitas semen cair domba Garut. J
Pengembang Pet Trop. 31: 224-231.
Solihati,
N., R. Idi, S.D. Rasad, M. Rizal, dan M. Fitriati. 2008. Kualitas spermatozoa
cauda epididimis sapi peranakan Ongole (PO) dalam pengencer susu, tris dan
sitrat kuning telur pada penyimpanan 4-5°C. Animal Production 10(1): 22-29, ISSN: 1411-2027.
Suharyati,
S., dan M. Hartono. 2011. Preservasi
dan kriopreservasi semen sapi Limousin dalam berbagai bahan pengencer.
Jurnal Kedokteran Hewan 5(2): 53 -58, ISSN: 1978-225X.
Susilawati,
T. 2000. Analisis Membran Spermatozoa Sapi Hasil Filtrasi Sephadex dan
Sentrifugasi Gradien Densitas Percoll Pada Proses Seleksi Jenis Kelamin. Disertasi. Pascasarjana Universitas
Airlangga. Surabaya.
Susilawati,
T. 2011a. Tingkat
keberhasilan inseminasi buatan dengan kualitas dan deposisi semen yang berbeda
pada sapi peranakan Ongole. J. Ternak Tropika 12(2): 15-24.
__________.
2011b. Spermatology. Universitas Brawijaya (UB) Press.
Malang, ISBN: 978-602-8960-04-5.
Susilawati, T.
2013. Pedoman Inseminasi Buatan pada Ternak. Universitas Brawijaya (UB) Press.
Malang, ISBN: 978-602-203-458-2.
Tambing,
S.N., M.R. Toelihere, T.L. Yusuf, dan I.K. Sutama. 2001. Kualitas semen beku
kambing peranakan Etawah setelah ekuilibrasi. Jurnal Ilmu Hayati 8: 70-75.
U.S. Department
of Agriculture. 2014. Full Report (All
Nutrients) 09139, Guavas, raw. USDA National Nutrient Database for
Standard Reference, Release 26.
Verbeckmoes, S., A. Van Soom, J.
Dewulf, I. De Pauw, and A. de Kruif. 2004. Storage of fresh
bovine semen in diluent based on the ionic
composition of cauda epididymal plasma. Reprod. Domest. Anim.
39(6): 1-7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar